Bab 69

217 18 1
                                    

"Ada yang mau Ara bicarain sama Papa." raut wajah Ara nampak sangat serius.

"Kamu masuk dulu ya sayang, gak enak dong kalo kita bicara diluar." bujuk Papa Roni dengan lembut.

"Kamu mau ikut ke dalem Lif?" tanya Papa Roni kepada Alif.

"Gak usah om, Alif pulang aja lagian masih banyak urusan. Alif kesini cuma nganterin sultan aja om." ucap Alif dengan sedikit mengusili Ara.

"Apaan sih Lif," gerutu Ara.

Alif terkekeh pelan, "Kan Sultan bebas Ra." bisiknya ditelinga Ara.

"Yaudah hati-hati. Makasih sudah mau antar Ara kesini." ucap Papa Roni kepada Alif.

"Sama-sama Om." jawab Alif dengan keras sedikit menyindir wanita yang berdiri dengan bibir mengerucut disampingnya. Ara menatap Alif dengan tajam "Makasih." ucapnya dengan malas.

"Kalo gak ikhlas gak usah!" protes Alif. Ia tertawa kecil. Kini Alif pamit dan pulang.

Papa Roni membawa Ara ke dalam rumahnya. Ketika berada di dalam rumah yang sangat asing bagi seorang Ara, membuat Ia penasaran dengan pemilik rumah tersebut.

"Sayang, kamu duduk dulu yah, Papa buatin minum dulu untuk kamu. Kebetulan bunda lagi pergi jadi Papa yang buat. Tunggu sebentar!"

"Bunda?" desis Ara pelan, pikirannya mulai bekerja. Setelah Papanya pergi ke dapur, Ara beranjak bangkit dari duduknya. Ia penasaran dengan foto-foto yang menempel diruang tengah dan apapun yang ada disana. Kaki Ara melangkah menuju kesana, Ia berpikir jika ini adalah rumah Papanya, Ia mempunyai hak bukan? Anggap saja rumah ini adalah rumahnya sendiri.

Matanya menatap satu persatu foto yang terpajang, dan kini matanya tertuju pada Foto Keluarga yang berfigura besar dan menempel di dinding putih. Empat orang nampak tersenyum bahagia, Papa Roni, seorang Ibu yang terlihat masih muda dengan rambut hitamnya yang tergerai yang kini menjadi Bunda bagi Ara. Serta dua anak perempuan yang memeluk Papa dan Bundanya. Perkiraan Ara anak perempuan yang pertama berusia 19 tahun, berbeda satu atau dua tahun dengannya. Dan sedangkan anak perempuan yang kedua mungkin berusia 11 tahun.

Batin Ara menangis, rasanya sakit sekali melihat Papa kandungnya ada didalam Foto Keluarga orang lain yang sama sekali tak dikenalinya. Dan Papanya, didalam foto itu terlihat sangat bahagia bersama wanita yang baru Ia kenali selama beberapa tahun saja. Dan kedua anak perempuan yang bukan darah dagingnya sendiri.

Perlahan air mata menetes dari mata Ara "Papa, dulu kita bersama satu atap dengan Mama dan Kak Shelly selama 21 tahun. Apa kita pernah foto keluarga yang terlihat sangat bahagia? Ini sangat menyakitkan Pa, bahagia Papa bukan bersama keluarga dan anak kandung Papa, melainkan bersama orang asing." lirih Ara dengan pelan.

Papa Roni mendekat dan menghampiri Ara dengan membawa minuman ditangannya "Ara?" sapanya, membuat Ara terkejut dan segera menghapus air mata dipipinya.

"Kenapa Pa?"

"Duduk nak!" suruh Papa Roni. Ara menuruti dan duduk dikursi putih yang ada diRuangan depan.

Papa Roni mengusap pundak Ara "Ada apa?" tanya Papa Roni dengan serius, Ia penasaran dengan apa tujuan Ara datang ke rumahnya seperti ini.

"Pa, Kenapa Papa gak pernah bilang kalo nama wanita yang udah hancurin hidup kita itu Vera?" Ara sempat kebingungan karna dari manakah Ia harus memulai pembicaraannya. Namun itulah kalimat yang terlontar dari mulutnya.

"Apa pentingnya sayang? Itu semua sudah berlalu. Toh Papa sudah tidak ada hubungannya dengan wanita itu." jawab Papanya sedikit mengelak pembahasan yang dimulai anaknya.

"Papa nanya apa pentingnya? Jelas ini penting untuk Ara, Ara hanya minta penjelasan dari Papa langsung. Papa gak pernah bicara apapun perihal ini ke Ara. Kenapa? Karna ini semua kesalahan Papa? Sedangkan Mama, korban dari semua ini, Mama tetep sanggup cerita ini semua." ucap Ara dengan sedikit meninggikan nada suaranya.

Sejak kejadian beberapa tahun yang lalu, Ara selalu menyalahkan Papanya. Karna dimatanya, Papanya lah yang mempunyai kesalahan besar dan karenanya Mamanya harus menjadi janda dan berjuang sendiri menghidupi anaknya. Sekuat apapun fisik wanita, dan setegar apapun hatinya, dia tetap membutuhkan sosok lelaki yang menjadi pendamping dan pelindung baginya.

Mendengar perkataan Ara, Papa Roni bungkam. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Jika ada yang tahu isi hatinya saat ini. Ia sungguh sangat menyesal. Dan jika saja waktu bisa diulang, Ia sangat ingin memperbaiki semuanya dan tak akan pernah berani melakukan kesalahan yang fatal.

"Ara tolong, Papa tahu ini semua kesalahan Papa. Papa yang salah, dan Papa sudah menyiksa batin kamu dan Mama kamu secara perlahan. Tapi apa boleh buat nak? Ini semua sudah terjadi, yang Papa rasakan saat ini hanyalah penyesalan yang tiada henti dan sangat besar. Tapi apa kamu pikir Papa tidak menderita? Papa kehilangan segalanya. Papa tidak mempunyai istri, jauh dari anak-anak Papa, untuk bertemupun rasanya sangat sulit. Papa dicap sebagai lelaki tukang selingkuh, Papa kehilangan tempat tinggal dan karna semua itu Papa hidup sebatang kara. Apa kamu pernah menemani Papa?" perkataan Papa Roni seakan terlontar dari hati terdalamnya. Ara menangis, selama bertahun-tahun Ia mencoba melupakannya. Namun nyatanya? Kenangan pahit dan kisah duka itu selalu menghantuinya dan melintas diingatannya.

"Tapi Pa, menurut Ara yang lebih pedih itu Mama. Mama itu perempuan, dia itu ditakdirkan untuk menjadi tulang rusuk, tapi apa kenyataannya? Mama jadi tulang punggung sekaligus tulang rusuk. Itu semua karna Papa. Dan apa Papa tahu? Tujuan Ara kesini adalah, Papa udah tahu kan kalo Kak Egi itu anak Tante Vera? Kak Egi itu mantan anak tiri Papa sekaligus anak pelakor itu. Makannya kenapa waktu Papa ketemu Kak Egi dicafe waktu itu. Papa dan Kak Egi terlihat gugup dan kaget. Dan karna Papa kisah cinta Ara itu harus berakhir sama seperti Papa dan Mama. Ara gak sanggup dan gak bisa terima kalo orang yang selama ini selalu hadir dihari-hari Ara, mengembalikan senyuman Ara, membuat Ara percaya adanya lelaki yang mencintai dan menyayangi dengan tulus tidak seperti Papa ataupun Farid yang bisanya hanya melukai hati seorang wanita."

"Cukup Ara!! Papa sudah tidak mau bahas ini lagi, kamu itu kenapa sih? Terima saja apa yang sudah terjadi apa susahnya, lagian ini sudah bertahun-tahun. Toh kamu dan Mama kamu juga masih bertahan hidup. Papa capek!!"

"Tapi Pa," ucapan Ara terpotong kembali dengan bentakan Papa Roni.

"Cukup!" Papa Roni membentak Ara dengan suara yang keras, Ara terkejut dan semua perkataan Papa Roni seakan menembus ke dalam relung hatinya. Ia semakin menangis, ini kali kedua Papanya membentak Ara. Bentakan itulah yang semakin menyakiti hatinya. Ara menunduk, tubuhnya bergetar dan isakan tangisnya semakin kencang. Sedangkan Papanya, Ia kebingungan apa yang harus Ia lakukan, Dia sama sekali tidak berniat sedikitpun untuk melukai hati anaknya. Ia hanya saja ingin menyudahi semuanya. Lagian semua sudah berlalu, tak akan bisa terulang lagi dan tak akan bisa diperbaiki. Ini hanya perihal waktu yang dapat mengobati semua luka lukanya meskipun luka itu akan membekas, tapi setidaknya rasa sakitnya perlahan memudar.

**********

ALUR KEHIDUPAN

Penasaran gak kelanjutan perbincangan Papa Roni dan Ara?

Berikan pendapat kalian dichapter kali ini ya:))

Penasaran chapter selanjutnya? Tunggu yaaa!! MOHON SABAR MENUNGGU:)) Meskipun menunggu itu membosankan.

Jangan lupa tinggalkan jejak!!!
(Vote&Comment)
Jangan hanya singgah, karna dijadikan tempat persinggahan itu menyakitkan wkwk😂

Thank you♥
See you the next chapter:))

SalamSayang

        
                                                   Saskyaputri


Alur Kehidupan [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang