Makanannya terasa hambar, pikir Yume.
Yume tetap tersenyum walau setiap suap sendok makanan serba mewah yang disajikan terasa hambar di lidahnya. Yume tersenyum saat tuan rumah menatapnya. Yume tersenyum manis.
Lampu emas yang berada di ruang makan tidak kalah elegan dari lampu kristal di ruang tamu, meja makan super besar, makanan super banyak, furnitur diseisi rumah super mewah. Yume terkagum-kagum. Dia terheran-heran.
Semakin lama Yume mengagumi kekayaan Maki Mori, semakin dia bertanya-tanya. Kemana semua bantal beludru empuk di bawah pantat Yume sekarang saat dia tidur di lantai dingin dalam apartemen lamanya? Bagaimana bisa selembar tisu di rumah ibunya lebih lembut dibanding pakaian manapun yang pernah dipakainya? Mengapa ada tiga kali babak dalam satu makan malam saat sering dia tidak punya apa-apa untuk dumakan selama malam-malam kelamnya.
Yume merasa bersalah. Seharusnya dia tidak datang. Datang ke tempat ini setelah mengetahui hal yang tidak pernah dia bayangkan sama seperti menelan racun dalam gelas bertuliskan racun. Namun Yume ingin melihat sendiri bagaumana kehidupan ibunya tanpa dirinya.
Saat Kanna Mori mengantar mereka ke ruangan yang disebut sebagai ruang kerja ibunya, Kanna menyadari kaki Yume yang sakit. "Hei, kakimu kenapa?"
"Oh, aku tidak sengaja jatuh sebelum datang kesini."
Kanna menatap Kazuki dengan tajam. "Sudah kuduga kau tidak bisa menjaga siapapun dengan baik."
"Ini bukan salah Sensei, Kanna-san."
"Hmm... Sebenarnya dari tadi aku sangat ingin tahu, apa kalian... kau tahu, karena kau menyebutnya Sensei."
"Ya, apapun ceritanya, kurasa itu bukan urusanmu." Kazuki menggandeng Yume agar dia bisa berjalan dengan lebih ringan.
"Duduklah disini, kakimu bagaimana? Masih nyeri ya?" tanya Kazuki.
Nyeri ditubuhku tidak sebanding dengan nyeri di hatiku, gumam Yume dalam hati. "Tidak apa-apa, Sensei."
Sachou menyusul ke ruangan berperapian ala barat dengan membawa sampanye dalam vas berisi es. "Malam ini cukup dingin anak-anak, jadi mari kita minum sebentar."
Melihat presdir Crown Mori sekaligus orang yang disebut sebagai Ibunya bisa tersenyum manis seakan tidak ada apapun diantara mereka, membuat Yume sakit hati. Dia memang orang asing, terlepas dari identitasnya sebagai anak kandung maupun tidak, Yume adalah orang luar.
Kanna Mori menceritakan sesuatu, cerita yang terjadi saat dia muda yang menyeret Kazuki ke dalam masalah dan bagaimana ibunya menyelesaikan masalah dengan gagah sebagaimana biasanya, mereka bercerita tentang masa-masa sedih saat suami Mika Mori meninggal dunia, cerita-cerita lucu tentang kenakalan Kanna dan Kazuki saat remaja.
"Dan aku jadi sangat bergantung pada si bodoh ini." Kanna membicarakan Kazuki.
"Dan aku sangat kerepotan," timpal Kazuki.
"Makanya aku senang sekali saat dia melanjutkan sekolah di luar negeri bersamaku. Rasanya seperti punya pengawal pribadi."
Sachou mengangguk membenarkan. "Untungnya Kazuki ini pria yang cerdas, tidak sulit untuknya masuk dalam sekolah manapun yang dia inginkan."
"Well, aku gak bisa menyangkal yang itu."
"Tapi untuk apa bicara masa lalu? Sekarang ya sekarang, dan aku rasa kau sendiri tahu lebih banyak tentang Kazuki dari pada kami. Iya, kan, Tachibana?"
Kazuki dan Yume tampak terkejut. Namun Kanna yang paling terkejut diantara mereka. "Ehh?? Mom! Bagaimana mom tahu?! Ah, kukira mom akan terkejut tentang hubungan mereka."
"Aku hanya mendengar dari sana dan dari sini."
"Wah, padahal aku belum memperkenalkannya pada orang tuaku sendiri, kurasa mereka benar tentang Presdir Crown Mori yang punya banyak telinga."
Sachou menaikan sebelah alisnya saat melihat Kazuki menggenggam tangan Yume. "Aku tidak tahu kalau... hubungan kalian serius?"
Kazuki hanya tersenyum. Yume menatap lurus kearah gelas sampanye ditangan sang Presdir. "Karena memang banyak sekali hal yang tidak anda ketahui tentang saya."
Tidak dapat ditarik lagi. Kata-kata Yume meluncur begitu saja. Bagi Kanna itu hanya ungkapan biasa, Kazuki mungkin merasa ada yang aneh dan semakin yakin namun dia tetap tidak tahu. Tapi Mika Mori tahu.
Yume adalah orang luar. Mungkin dia hanya salah mendengar, mungkin dia hanya bermimpi. Yume hanyalah orang luar. Meski begitu, saat sang Presdir kembali meneguk sampanye mahalnya, tidak tersenyum, matanya entah mengapa diam dan sedih. Sambil melihat anak gadis yang tak pernah dia akui duduk tepat dihadapannya, Mika Mori menyesap sampanye dan Yume merasa mual.
"Sensei, sepertinya kita harus pamit sekarang."
"Pasti kau bosan, ya?" Kanna bertanya.
"Tidak, aku hanya merasa lelah."
Kazuki seolah paham, dia mengangguk. "Sudah terlalu malam, besok masih ada pekerjaan yang menunggu, bukan?" kata Kazuki sambil berdiri untuk meletakkan gelasnya.
"Kalian bisa menginap jika ingin."
Yume menolak dengan lembut. "Tidak perlu, Sachou. Terima kasih untuk malam ini."
Kazuki memperhatikan Yume. Gadis itu tampak tidak sehat, tidak senang, tidak seperti dirinya. Kazuki sudah merasa makan malam di rumah istri mendiang pamannya itu memang bukan ide bagus, dia berpikir mungkin saja Yume tidak bisa memakan sesuatu dari jamuan makan malam tadi.
"Bagaimana keadaan Nao?" tanya Kazuki.
"Baik..."
"Hmm... Baguslah Reiji terus bersamanya, kita tidak tahu apa yang bisa terjadi padanya."
"Iya..."
"Mulai besok kau ingin jadi botak, kan?"
"Benar..."
"Yume, kau baik-baik saja?" Kazuki meraih tangan Yume untuk digenggam, membawa kesadarannya kembali.
"Eh?! Iya. Ada apa, Sensei?" Yume yang melamun sedari tadi segera menyingkirkan pikiran-pikiran galaunya. Dia tidak ingin Kazuki cemas.
"Kau tampak kurang sehat. Pasti lelah sekali ya?"
"Tidak masalah kok."
"Masalah untukku. Jangan terlalu memaksakan diri, Yume."
"Haah..." Yume menghembuskan nafas dengan berat, dia menunduk menyatukan kedua tangan ke wajahnya. "Aku tidak kuat lagi."
"Tidak masalah. Tidak apa-apa." Kazuki mengelus kepala Yume.
Gadis itu menangis, tangis pilu seperti menghadiri pemakaman orang tercinta. Kazuki membiarkan gadis itu meluapkan semuanya, walau tidak tahu apa yang dia tangisi, Kazuki hanya ingin Yume melepaskan apa yang membebani hatinya.
"Jika sakit, menangislah. Jika berat, mengeluhlah. Aku disini." Kazuki ingin menjadi orang yang selalu ada untuk menyeka air mata itu, dia ingin menebus setiap hari-hari berat yang telah Yume lewati tanpa dia disisinya.
"Kali ini dan seterusnya, aku akan selalu disini."
Sementara yume menangis dalam pelukan Kazuki, sepanjang malam memeluk erat pria itu, mencari kehangatan yang tak pernah dia dapatkan, hangat peluk penuh kasih dan manja yang takkan bisa dia temukan dimanapun juga, bahkan dalam pelukan orang yang dicintainya. Karena dia sendiri tahu kehangatan yang dicarinya adalah kehangatan seorang ibu.
***
Hai guys, thanks masih stay baca ceritaku.
Sekedar informasi, ada cerita lain yang aku sudah publish, ceritanya bergenre adventure dengan Judul "The Last Cavanaugh".
Dukung aku dengan baca cerita baru ku juga ya, aku pengen dengar pendapat kalian tentang The Last Cavanaugh, nih.
Terima kasih teman-teman! See you in the next chapter :)

KAMU SEDANG MEMBACA
Notice me, Sensei !
RomanceYume Tachibana, gadis polkadot yang jatuh cinta pada guru matematika. Yume gadis yang tertutup, selalu terlihat lelah dan tampak tidak menarik. Menjalani masa sekolah tanpa gairah anak muda, dia melanjutkan hidup seperti sebuah kewajiban hingga suat...