(21) Perasaan Kazuki

241 37 3
                                    

Di ruang guru Iida menungguku. Hari ini aku sudah berjanji akan menemani Iida ke pusat perbelanjaan di kota C. Sebentar lagi ulang tahun pacarnya, dan dia ingin membeli dasi sebagai hadiah.

Iida tidak mau pergi seorang diri dan mencoba-coba berbagai dasi sendirian. Dia tidak ingin terlihat jomblo. Jadi dipaksanya aku ikut sekaligus untuk membantu menyumbangkan ide untuknya. Sebagai gantinya, Iida akan mentraktirku minum sebelum pulang.

Seperti biasa, Iida menyetir mobilnya dan aku duduk di sampingnya. Lagu-lagu ballad kesukaan Iida terdengar dari pemutar musiknya.

"Jadi, bagaimana dengan si Tachibana?" Tanya Iida

"Apanya yang bagaimana?" Tanyaku pura-pura bodoh.

"Hmmmm..." Iida tersenyum mengejek. "Maksudku itu lho. Tentang pilihan-pilihan dalam hidup ini."

Aku menatap jalanan didepan sana dengan serius. "Pilihannya sudah jelas, kan? Aku guru dan dia murid."

Iida langsung tertawa sampai memukul-mukul setir mobil. "Takahashi-san, maksudku itu tentang pilihan jurusan Tachibana. Memang apa yang kau pikirkan."

Aku terkejut dan malu bukan main. "Aku tidak tahu kau sejahil ini, Iida-san."

"Lho? Siapa yang menjahilimu? Memangnya apa sih yang tadi kau pikir aku tanyakan? Huh? Coba ceritakan dong, kita ini kan sudah sohib."

"Lupakan sajalah."

Iida tertawa semakin keras. "Jangan-jangan dipikiranmu itu maksud pertantaanku begini, 'jadi, bagaimana? Kau sudah memilih Tachibana sebagai murid atau Tachibana sebagai wanita?' Begitu kan? Hayooo ketahuan lho.."

Aku berpura-pura tidak dengar dan sibuk mencari-cari apapun diluar sana yang membuat perhatianku bisa teralihkan. Sialnya, lampu merah datang disaat-saat yang kurang tepat.

"Huh! Tsubasa Sensei itu jenis laki-laki yang suka sekali mengganggu ketenangan perempuan, ya?" Keluh Iida.

"Kenapa dengan Tsubasa Sensei?" Tanyaku. Kupikir Iida sudah mengganti topik pembicaraan dari Tachibana.

"Dia terus menggangguku sepanjang sore tadi. Menanyakan hubunganku denganmu lah, itu lah, ini lah. Padahal aku ini punya urusan yang lebih penting dan sedang buru-buru sekali."

"Urusan apa memangnya?"

"Menguping pembicaraanmu dengan Tachibana."

"Hah?"

"Tenang, tenang. Tidak perlu takut malu begitu, sebelum aku pergi kau sudah selesai berduaan dengan Tachibana, tuh."

"Iida-san, apa yang kulakukan dengan Tachibana di perpustakaan itu bukan sesuatu yang bisa disebut 'berduaan'."

"Bisa dong, memangnya diantara kalian ada siapa lagi?"

"Ada penjaga perpustakaan. Juga beberapa murid kelas tiga." Jawabku cepat.

"Memangnya mereka ikut duduk dimeja yang sama dengan kalian? Memangnya mereka ikut dalam percakapan kalian? Apa mereka bahkan menyadari kehadiran kalian?"

Melihatku diam saja, Iida menyeringai senang. "Nah, itu kan sudah termasuk 'sesuatu yang disebut berduaan', lho."

Saat aku ingin mengatakan sesuatu, tiba-tiba aku melihat beberapa murid SMP berdiri berkelompok sambil menjajakan bunga kepada pejalan kaki. Mawar putih. Sepertinya Iida juga melihatnya, karena tiba-tiba dia menjadi diam begitu saja.

"Sudah dua bulan, ya." Kata Iida.

Aku mengangguk. Mobil berjalan kembali saat lampu hijau. Kali ini hanya lagu Ballad yang berbicara. Kami berdua terdiam cukup lama hingga melewati batas kota, memasuki kota D.

Notice me, Sensei !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang