Hari ini juga, ya?
Gadis itu selalu sendirian di atap gedung sekolah. Tanpa bekal makanan selayaknya siswa-siswi SMA. Hanya sebuah roti, dan sekaleng jus yang dijual di kantin. Di bawah terik matahari, bersandar dikawat besi, dia menyendiri. Mengunyah roti gigitan demi gigitan. Menyeruput jus kalengan yang berwarna kuning dalam diam.
Angin bersiul menyibak rambut sebahunya, memperlihatkan wajah yang biasa saja. Walau sering memergokinya, wajah yang biasa saja itu tak pernah bosan dipandang. Bukan karena bentuk rupanya, namun sorot mata yang kesepian, setiap tarik dan hembus nafas yang lamban, dan mulut yang kaku membuatnya terkesan kelelahan.
Lelah karena apa, tak ada yang tahu.
"Tachibana." Aku menghampirinya. Gadis itu hanya menoleh. Tidak terkejut, juga tidak tampak terganggu. "Siswa dilarang datang ke atap. Bukankah sudah tertulis di depan pintu itu?"
Gadis itu sejenak melirik kearah pintu lalu menatap ke pemandangan kota dibawahnya. "Apakah Sensei terganggu dengan kehadiranku?"
"Bukan tentang terganggu atau tidak. Peraturan tetaplah peraturan."
"Kalau begitu, Sensei bisa mengabaikanku saja."
"Aku tidak bisa mengabaikan murid yang melanggar peraturan."
"Kenapa?"
"Kenapa?!" Aku cukup kaget dibuatnya.
Yume Tachibana, aku tidak mengenal gadis ini. Bagiku dia hanya satu dari sekian murid yang kebetulan duduk di kelas yang menjadi tanggung jawabku. Karenanya, saat dia bertanya dengan begitu mudah, aku pikir dia murid berandal. Awalnya kupikir begitu.
"Karena aku adalah gurumu, lebih lagi aku wali kelasmu, dan aku bertanggung jawab dalam hal-hal seperti ini."
"Apa aku akan dihukum?" Tanya Tachibana.
Kupadamkan rokok dengan menekan ujung puntungnya yang menyala kepermukaan pagar besi. Berbicara dengan murid yang seperti ini akan semakin menyusahkan jika tidak terlihat serius dan berwibawa. Maka kupadamkan dan kusimpan puntung rokok itu dalam saku untuk nanti dibuang pada tempatnya.
"Kalau kau mendengarkanku sekarang dan kembali ke kelasmu, atau pergi ke kantin, kemanapun dan bukan disini, kau tidak akan dihukum."
Tachibana menatapku dengan heran. "Sensei," panggilnya, "kenapa Sensei menegurku sekarang?"
Anak ini benar-benar badung. Begitu pikirku. "Karena kalau tidak sekarang, ini akan menjadi kebiasaan burukmu."
"Padahal Sensei sudah sering memergokiku disini."
Dia tahu.
Daripada terkejut, lebih tepat dikatakan bahwa aku merasa cukup direndahkan. Kalau memang dia tahu, sudah sepantasnya dia tidak datang lagi ke tempat ini dan terang-terangan melanggar peraturan sekolah. Apa dia tidak memandangku sebagai guru?
Aku mutasi ke sekolah ini pada pertengahan bulan Februari yang lalu. Aku memiliki kebiasaan merokok dan sudah tiga tahun menjadi perokok aktif. Biasanya di waktu istirahat, aku selalu merokok diruang guru. Namun disekolah ini karena ada larangan merokok didalam gedung sekolah, satu-satunya tempat yang tepat untuk merokok adalah atap. Walaupun berada di area sekolah, atap tidak dapat disebut 'dalam gedung' sekolah, jadi tidak ada resiko kena teguran dari atasan.
Dua atau tiga batang kuhabiskan, tergantung suasana hati, kadang-kadang tidak menyentuh rokok sama sekali. Lalu disuatu siang yang mendung, aku melihatnya. Yume Tachibana. Sekali lihat pun sudah ditebak siapa dia. Gaya rambutnya yang digerai asal-asalan, lengan seragam musim dinginnya dilipat sampai sikut. Dan kaos kaki hitam selutut yang dengan beberapa bolongan kecil-sedang. Seperti polkadot. Pikirku saat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Notice me, Sensei !
RomanceYume Tachibana, gadis polkadot yang jatuh cinta pada guru matematika. Yume gadis yang tertutup, selalu terlihat lelah dan tampak tidak menarik. Menjalani masa sekolah tanpa gairah anak muda, dia melanjutkan hidup seperti sebuah kewajiban hingga suat...