(28) Salju di pundakmu

192 29 0
                                    

Lampu-lampu mobil di jalanan, lampu-lampu yang bersinar terang dari gedung-gedung di kota itu mengalahkan sinar bintang di langit. Aku menemukan Tachibana. Aku mendekat, cukup terlihat untuk dapat dia sadari, namun gadis itu tak kunjung menyadari kehadiranku.

Dia menunduk dan memandang wajahnya di permukaan air sungai yang keruh. Malam itu dingin. Hembusan nafas kami bahkan dapat terlihat. Saking dinginnya, aku sampai menghayalkan salju di pantulan sungai.

Lalu ternyata butiran salju menyentuh kulit tanganku. Benar-benar turun salju. Pandanganku menengadah keatas lalu menatap kedepanku, dimana Tachibana tersenyum geli ketika titik demi titik embun dingin menggelitik wajahnya.

"Keluar malam demi melihat salju pertama?" Tanyaku.

Tachibana terkejut. "Sen-.. Takahashi Sensei?"

Aku terkejut melihat perban dikepalanya. "Tachibana, apa yang terjadi padamu?"

Tachibana menarik tudung jaketnya untuk menyembunyikan apa yang sudah terlanjur kulihat. "Tachibana?"

"Bukan apa-apa, Sensei."

"Bukan apa-apa? Kau terluka!"

"Hanya luka kecil."

"Apa yang terjadi? Boleh aku melihatnya?"

Tachibana mengintip padaku, lalu perlahan dia membuka tudung jaketnya. Angin meniup rambut Tachibana, memperlihatkan bekas darah diperban itu. Ini bukan 'hanya luka kecil'. Rahangku menegang saat melihat jejak biru dipergelangan tangan Tachibana.

Aku yakin telah terjadi sesuatu. Kekerasan. Aku tahu Tachibana tidak tinggal dengan orangtua kandungnya, aku tahu dia tinggal dengan ibu tirinya, aku tahu karena aku cukup banyak mengawasi. Tapi sejauh ini Tachibana tidak pernah terluka, dia kadang tampak sakit dan lelah, tapi dia selalu tampak kelelahan bahkan saat tidak melakukan apapun.

Jadi kali ini, saat bekas darah begitu merah diperbannya, pergelangan tangan yang biru, dan kegugupan Tachibana yang terbaca jelas olehku. Aku yakin telah terjadi sesuatu yang tidak bisa kubiarkan.

"Tachibana, darimana kau mendapat luka-luka itu?" Tanyaku serius.

"Aku jatuh, Sensei."

"Apakah luka itu besar?"

"Tidak, hanya tiga jahitan."

"Noda darahnya cukup besar untuk ukuran 'hanya tiga jahitan' ya?"

Yume menggeleng. "Aku baik-baik saja, Sensei."

"Aku harus pulang." Kata Tachibana.

"Tunggu." Aku menyusul langkah Tachibana.

"Sudah larut. Biar kuantar kau sampai didepan rumahmu."

"Tapi Sensei-"

"Tidak boleh?"

Tachibana tidak menjawab. Dia memeluk jaketnya lalu berjalan lebih dulu. Aku mengikutinya tepat disampingnya. Berjalan dalam diam sementara salju terus berjatuhan dan angin semakin kencang.

"Lindungi kepalamu." Aku menarik naik tudung jaket Tachibana. "Jangan sampai lukamu basah."

"Terima kasih, Sensei."

"Apa kau baru saja dari rumah sakit?"

"Ya."

"Walimu mengantarmu, bukan?"

Tachibana mengangguk.

"Kenapa tidak pulang bersama?"

"Harus bekerja." Jawab Tachibana singkat.

Notice me, Sensei !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang