(20) Perasaan Kazuki

237 34 1
                                    

Kenapa aku menegur Tachibana? Kenapa aku memanggilnya ke ruang guru? Kenapa tidak memanggil Kusagawa juga? Kenapa tidak menegur Haruto yang tidur dalam kelas? Kenapa hanya Tachibana?

"Takahashi Sensei."

Bahkan tanpa menoleh, aku kenal suara itu. Suara yang monoton. Suara yang tidak mencerminkan apapun. "Ya, ya. Tunggu sebentar."

Aku berpura-pura merapikan meja sebelum menghadap Tachibana. Padahal sebenarnya aku hanya ingin waktu sedikit untuk berpikir apa sebenarnya yang ingin kubicarakan. Aku tidak tahu. Sejak kapan aku jadi bertingkah tolol begini? Sadar umur dong diriku!!

Ya. Umur. Mana mungkin aku menyukai muridku sendiri. Beda usia kami hampir sepuluh tahun! Lucu sekali pria yang memiliki prinsip, pendirian teguh dan telah menarik garis batas yang jelas antara guru dan murid malah jatuh cinta kepada muridnya sendiri! Apa aku gila? Tidak. Ini belum tentu cinta. Aku pasti salah mengartikannya. Ya. Pasti begitu.

"Yume Tachibana." Panggilku dan langsung menyesalinya. Padahal nama belakangnya saja sudah cukup! Kenapa lidahku gatal sekali menyebut nama depannya?! Astaga!

"Ya, Takahashi Sensei?"

Aku mengambil kopi kalengan yang belum habis kuminum lalu meneguknya sampai habis. Aku hanya memerlukan sesuatu untuk membasahi kerongkonganku, kalau tidak begitu aku yakin akan gugup sekali berbicara dengan Tachibana. Memangnya kenapa kau gugup segala, Kazuki?!

"Jadi, apa yang begitu penting kau bicarakan dengan Kusagawa sampai kau tidak memperhatikan pelajaran?"

Tachibana menarik nafasnya perlahan. "Tentang formulir pembagian jurusan, Sensei."

"Oh." Aku pun tersadar. Sebentar lagi dia akan naik ke kelas 3, sudah saatnya memilih jurusan yang akan menjadi penentuan menuju masa depannya. "Bukankah kalian bisa membicarakannya di jam istirahat saja?"

"Ya, Sensei. Tapi aku senang kami membicarakannya lebih cepat."

"Kenapa?"

"Karena dengan begitu aku jadi berusaha untuk memikirkannya."

"Apa maksudmu selama ini kau belum memikirkannya sama sekali?"

Tachibana mengangguk. "Aku hanya tidak tahu harus bagaimana."

"Hmmm.." Aku berpikir sebentar.

Selama ini Tachibana memang tidak menunjukkan ketertarikan terhadap apapun. Nilai-nilainya stabil (termasuk matematika jika diingat bahwa nilainya selama ini adalah bukan miliknya sendiri). Tapi hanya itu saja. Tachibana gagap bersosialisasi, dia pun sulit mengutarakan perasaannya, dan senang menyendiri, walau pun belakangan ini dia tidak pernah sendirian lagi.

"Bukankah itu cukup mudah? Maksudku, kau hanya perlu memikirkan jurusan apa yang menurutmu menarik, atau jurusan mana yang menurutmu sesuai dengan dirimu sendiri."

"Takahashi Sensei, apa aku boleh meminta sesuatu?"

"Tentu."

"Maukah Sensei melakukannya?"

"'Maksudmu, kau mau aku yang menentukan pembagian jurusan untukmu?"

Tachibana mengangguk. "Ya."

"Sayang sekali aku tidak bisa." Bukannya ingin menolak. Tapi pilihan itu ada di tangan Tachibana. Aku tidak bisa ikut campur dalam hal ini.

"Tapi aku bisa menunjukkan padamu cara untuk membedakannya."

"Baiklah."

"Nah, temui aku di perpustakaan sore ini setelah selesai jam pelajaran." Kataku lalu menyuruh Tachibana segera kembali ke kelas sebelum bel berbunyi.

Notice me, Sensei !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang