(45) Kapas Merah Jambu

141 21 2
                                    

Pintu bergeser terbuka dan kaki jenjang dengan kaos kaki berlubang menyerupai polkadot melompat ke lantai atap. Angin musim dingin berhembus, uap nafas Yume mengepul berulang kali, hidungnya merah matanya basah dan mulutnya bergetar saat melihat Kazuki bersandar di pagar pembatas.

Merokok. Kazuki terkejut melihat Yume. Ditekan ujung rokoknya ke atas permukaan kawat besi.

"Tachibana, siswa dilarang berada di atap-"

"Kau benar-benar akan pergi, Sensei?"

Kazuki tersenyum. "Kau sudah dengar ya,"

"Apa Sensei akan pergi begitu saja? Tanpa pernah memberitahuku?"

Yume tidak mengerti apa yang membuatnya begitu marah, dadanya sesak dan dia merasa sakit hati sekaligus sedih. Yume menuntut jawaban Kazuki.

"Kenapa kau harus pergi? Apa yang terjadi?"

Kazuki menangkap ketidaktahuan Yume tentang alasan dibalik pengunduran dirinya dan itu membuatnya tenang. Dia tidak ingin Yume tahu tentang ancaman-ancaman wakil kepala sekolah, juga tentang semua hal yang membawa dirinya dalam masalah ini.

"Sensei!" Yume menatap sepatunya dengan tajam. Berusaha menahan air mata yang mengaburkan pandangannya.

"Aku minta maaf tidak langsung mengatakannya padamu."

"Kenapa?" Tanya Yume. Masih tidak sanggup mengangkat wajahnya.

Kazuki tersenyum. Dia tahu persis apa yang akan Yume lakukan seandainya dia tahu alasan dibalik pengunduran dirinya. Yume sudah pasti akan menolak beasiswa itu. Sebagai orang dewasa, Kazuki tidak ingin Yume mengambil pilihan hanya berdasarkan kenaifannya, Kazuki ingin Yume tetap mendapatkan beasiswa itu tanpa tahu apa-apa.

"Ada hal-hal yang sebaiknya tidak perlu diberitahu." Ucap Kazuki.

Yume meremas rok seragamnya. "Jahat sekali berkata seperti itu-"

Kazuki menepuk kepala Yume, membuat gadis itu terdiam, semakin tak kuasa menahan tangisnya. Yume nengusap matanya dengan tangan bergetar.

"Jangan pergi, Sensei."

"Jangan menangis, Tachibana. Aku belum mati."

"Aku suka Sensei."

"Sudah tahu, tuh."

"Mana mungkin?"

Kazuki nenatap langit yang diam-diam berubah warnanya. "Sudah banyak yang terjadi sejak hari itu."

Yume ikut menatal langit. "Kalau saja Sensei tidak pernah menyapaku, aku tidak akan menjadi diriku yang sekarang."

"Tachibana, berjanjilah kau akan baik-baik saja. Berjanjilah kau akan bahagia."

"Bagaimana denganmu?"

"Aku?"

Yume mengangguk. "Aku akan berjanji jika Sensei menjanjikan hal yang sama. Aku berjanji akan bahagia. Kau juga harus berjanji, Sensei."

"Aku berjanji."

Apa kita akan bertemu lagi? Maukah kau bertemu lagi denganku? Akankah kau kembali? Semua kata itu berada diujung lidah Yume, namun tak bisa dia katakan. Bagai bentuk harapan yang tak boleh diperdengarkan.

Hal yang sama juga dipikirkan Kazuki. Setelah semua kekonyolan ini, mari kita bertemu lagi. Namun Kazuki tahu harapannya begitu abstrak. Mereka tidak ingin mengatakannya, walau terbaca dikedua mata masing-masing betapa mereka ingin memastikannya. Tapi mereka takut kata-kata itu akan menguap dan pada akhirnya membeku diatas awan, lalu jatuh sebagai salju hampa tanpa pernah menjadi nyata.

Notice me, Sensei !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang