Bibir Yume bergumam, "Sensei..."
Ini kali pertama pernah dalam hidupku, aku dengan sangat ingin seseorang mengucapkan namaku alih-alih titel itu. Musik yang keras bergetar di bawah kakiku tapi tidak ku dengar apapun juga, senyap dan aku hanya bisa terdiam menatap Yume.
"Taka Sensei? Anda Takahasi Sensei, bukan? Yume, apa kau-"
Tanpa sadar aku meraih lengan Yume dan membawanya menjauh dari keramaian. Yume memanggilku dan mencoba melepas genggamanku.
"Sensei, sakit!"
Aku tersadar seperti orang yang baru kerasukan. "Maaf," untuk pergi, untuk kembali, dan untuk menarikmu dengan paksa.
"... maaf."
Jauh dari kerumunan orang di dalam sana, rasanya aku bisa melihat Yume dengan jelas saat ini. Aku pun tersadar. Aku sempat berpikir dia tidak berubah hanya karena tatapannya masih lesu seperti saat pertama kali aku melihatnya.
Aku pikir dia tidak berubah hanya karena dia tidak bertambah tinggi tidak pula merubah gaya rambutnya. Aku pikir dia tidak berubah. Tapi aku salah. Tidak ada yang sama seperti dulu, gadis itu bukan lagi remaja yang kukenal. Saat aku menyadari hal itu, Yume menangis.
***
Yume meremas pergelangan tangannya hingga mulai memerah. Ada banyak sekali pertanyaan, banyak sekali cerita, dan satu ungkapan yang sudah lama sekali dia simpan seorang diri. Seperti kotak surat yang membengkak siap meledak menghamburkan semua pesan seketika.
"Hei, hentikan itu." Kazuki meraih lengan Yume membuatnya berhenti menyakiti dirinya sendiri.
Dari mana saja kau? Apa kau baik-baik saja? Kenapa tak pernah mengabariku? Tempat-tempat seperti apa yang kau datangi? Sejak kapan kau kembali ke Jepang? Kenapa tidak mencariku? Apa kau mencariku? Aku merindukanmu, Sensei!
Alih-alih mengatakan yang dia jeritkan dalam hatinya, mengatakan sesuatu, apa saja selain memanggil Sensei, Yume malah menangis. Kotak surat itu meledak, tapi bukan kata-kata yang berhamburan keluar melainkan tangis yang mengejutkan Kazuki dan bahkan dirinya sendiri.
"Hwwaaaaa!!! Sensei!"
"Waaa!!! Ta-ta-ta-tachibanaaa????" Kazuki terkejut.
Kazuki panik saat Yume menangis semakin berlarut-larut. Orang-orang yang melewati mereka menatap Kazuki dengan tatapan menghakimi. "Pasangan yang bertengkar? Kejam, pacarnya dibuat nangis tuh.."
Yume sendiri terkejut dengan reaksinya, dia berusaha menutup wajahnya agar berhenti menangis namun tubuhnya tidak bisa menyembunyikan getaran saat dia menumpahkan semua gundah di hatinya.
Selama beberapa saat Kazuki menemani Yume menangis, tidak peduli pandangan orang-orang yang melihat. Akhirnya Kazuki melepas kacamatanya, menandakan dia menjadi lebih serius. Dia meraih kedua tangan Yume dari wajah gadis itu, kali ini dia meraihnya dengan lembut lalu dengan tulus Kazuki berlutut.
"Sen-sei?!"
"Maaf, pasti tadi aku menakutimu, ya?"
Yume menggeleng, wajahnya semerah tomat menahan tangis sekaligus malu. Gadis itu ikut berlutut karena tidak nyaman menatap orang yang dihormatinya berlutut kepadanya.
Walau masih mengeluarkan air mata dan sesegukan, Yume menyeka hidung merahnya dan akhirnya bisa berbicara dengan perlahan-lahan. "Sensei... Ap-apa yang kau lakukan?!"
"Kau menangis karenaku, aku harus menebusnya."
"Kenapa kau berlutut disini? Orang-orang menatap kita dengan aneh," bisik Yume.
"Pffft!" Kazuki tidak bisa menahan tawanya. "Kenapa pula kau ikut berlutut denganku?"
Yume tersadar dan malu-malu berdiri sambil menarik lengan Kazuki agar mereka meninggalkan tempat itu karena dia benar-benar malu ditonton oleh banyak pejalan kaki.
"Kau haus, kan? Aku ingin mentraktirmu." Kazuki menunjuk kearah coffee shop di persimpangan jalan.
Kazuki menyuruh Yume duduk dan menunggunya, gadis itu sudah tidak punya tenaga untuk membantah, energinya habis untuk menangis dan menahan malu. Apa yang aku lakukan?? Memangnya aku ini apa? Remaja 17 tahun?! Bodohnyaaaa!
"Kau merah seperti tomat."
"Jangan mengejekku, Sensei."
"Minumlah, aku pesan yang es khusus untukmu, kupikir tadi aku mendengar asap keluar dari kedua telingamu."
"Sensei!"
"Hahaha!! Oke, baiklah aku tidak akan mengejekmu lagi."
Yume menyeruput minumannya dengan perlahan. "Apa pergelangan tanganmu masih sakit?" tanya Kazuki.
"Tidak, aku tidak menangis karena sakit."
"Apa aku menakutimu?"
"Aku terkejut, tapi Sensei tidak pernah membuatku takut, bahkan sejak dahulu tempat paling aman untukku adalah bersama Sensei."
Kazuki menyembunyikan wajah tersipunya dibalik minumannya. "Ini ketiga kalinya aku melihatmu menangis, tapi rasanya seperti baru pertama kali."
"Aku?? Aku belum pernah menangis di depanmu, Sensei."
"Jangan buat aku mengingatkanmu."
Yume tampak berpikir sebentar lalu bertanya, "Kalau begitu apa yang membuatmu merasa seperti itu?"
"Karena kali ini kau menangis dengan percaya diri."
Yume langsung menyandarkan jidatnya diatas meja. "Aku tidak tahu harus tertawa mendengar istilah itu atau harus malu karena mengingatnya."
Mendengar tawa Kazuki, Yume kembali mengangkat wajahnya. "Sensei, apa yang kau lakukan bersama putri dari CEO tempatku bekerja?"
"Aku-"
Tok! Tok! Tok! Kaca di samping tempat duduk Kazuki dan Yume diketuk. Seorang pria mengenakan topi lengkap dengan kacamata dan masker mengangkat dan memamerkan ponsel Yume ditangannya dan dengan kesal menunjuk kearah gadis itu.
"Ah! Ponselku! Sensei, aku akan segera kembali-" Yume hendak pergi menemui Kento tapi sahabatnya itu sudah lebih dulu sampai di depan pintu kafe.
"Yume, kau bodoh ya? Bisa-bisanya meninggalkan ponselmu." Kento langsung memarahi Yume saat maskernya dibuka.
"Maaf, aku lupa membawanya bersamaku."
"Ternyata benar kau bersama Takahashi Sensei."
"Kiriyama, kudengar kau menjadi sangat terkenal, sejak dulu aku sudah mengira kau akan sukses seperti sekarang."
"Terima kasih, Sensei. Walau sangat di sayangkan karena Taka-Sensei tidak ada disini selama perjalananku dan tiba-tiba muncul seperti hantu."
Kazuki menangkap sindiran itu dan tersenyum. "Memangnya Sensei harus menemanimu tumbuh dewasa?" Gumam Yume.
Kento mengangguk. "Benar juga, karena Sensei pernah menjadi guru, setelah kita lulus pun perannya berakhir sampai disitu."
"Maaf mengganggu reuni ini, Sensei, tapi aku harus membawa Yume kembali," lanjutnya.
"Tapi-"
"Tentu, aku juga harus pergi. Senang melihat kalian lagi setelah sekian lama."
"Kau punya pekerjaan bersamaku besok, apa kau lupa jam berapa kita sudah harus ada di lokasi?" Kento mengomeli Yume sepanjang jalan.
"Setidaknya biarkan aku berpamitan dengan benar. Aku juga belum sempat meminta nomor handphone Sensei," ucap Yume.
"Kau bodoh, ya? Lihat, itu pacarnya sudah datang." Kento menunjuk kearah mobil mewah dimana Kanna Mori melangkah memasuki kafe dan menemui Kazuki.
"Jangan cari masalah sekarang, pikirkan proyek pertamamu."
***
Hai!
Sama seperti Kazuki yang lama kembali,
aku juga sudah lama gak update.
Maafkan aku teman-teman!
Semoga kalian gak bosan-bosan sama aku ya.
Terima kasih telah setia menemaniku,
nantikan kelanjutan ceritanya ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Notice me, Sensei !
RomansaYume Tachibana, gadis polkadot yang jatuh cinta pada guru matematika. Yume gadis yang tertutup, selalu terlihat lelah dan tampak tidak menarik. Menjalani masa sekolah tanpa gairah anak muda, dia melanjutkan hidup seperti sebuah kewajiban hingga suat...