Nilai Tachibana lagi-lagi jelek. Kali ini jeleknya luarbiasa diluar akal sehat. 40. Ya, nilainya empat puluh! Kau bercanda, ya?
Saat membagikan lembar kertas hasil ujian, kukatakan padanya untuk menemuiku di ruang guru di jam istirahat. Bagaimana bisa hasil ujiannya begitu jelek? Aku tidak tahu.
Jadi siang itu saat bel berbunyi, saat aku baru kembali ke ruang guru dari kelas 1-A, Tachibana sudah menungguku.
"Takahashi Sensei?"
"Ya, ya. Ayo ke mejaku."
Aku duduk dan mengambil daftar nilai siswa kelas 2-D. Mencari nama Tachibana dan melihat angka-angka itu sekali lagi. Nilai kuis dan tugas-tugas rumahnya rata-rata 80, bahkan saat masih duduk di kelas 1.
"Tachibana, ini agak aneh ya, kenapa nilai-nilai ujianmu bisa seburuk ini?"
Bukan hanya Tachibana yang mendapat nilai jelek di mata pelajaran matematika dari kelas 2-D, seseorang bahkan mendapat nilai 20 yang merupakan nilai terendah kelas itu. Tapi yang mengkhawatirkan adalah fakta bahwa mereka memang lemah di bidang matematika, sedangkan Tachibana tidak sama dengan mereka.
"Aku akan mengikuti kelas tambahan, Sensei."
"Ya, ya. Kalau hasil ujianmu tidak memuaskan, kau memang wajib mengikuti kelas tambahan selama libur musim panas. Tapi bukan itu alasanku memanggilmu."
"Oh," Tachibana seakan sudah mengerti, lalu dia meletakkan sebuah tas kertas diatas mejaku. "Ini kardigan Sensei."
Segera saja aku melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada yang memperhatikan saat Tachibana menyerahkan kembali kardigan itu padaku. "Wah, kenapa mencucinya segala?"
"Ya sudahlah, terima kasih ya." Kataku sambil menyimpan kardigan tipis itu ke dalam laci meja paling bawah. "Tapi, bukan karena kardigan ini juga kenapa aku memanggilmu."
"Tachibana, kalau diperhatikan nilaimu selalu merah ketika ujian. Apa kau sungguh-sungguh tidak bisa mengerjakan soal ujian?"
Tachibana menatap ujung mejaku seperti perkataan tadi berasal dari meja itu. Beberapa saat dia hanya memandangi meja, lalu dia mengangguk pelan. "Jadi soal ujian jauh lebih sulit dari pada tugas rumah ataupun kuis?" Tanyaku lalu Tachibana mengangguk lagi.
"Aneh." Aku meletakkan daftar nilai lalu melepas kacamataku dan mendorong punggungku ke sandaran kursi. "Padahal baik tugas maupun kuis, semua soalnya kumasukkan kedalam soal ujian. Hanya angka-angkanya saja yang kuubah sedikit."
Tachibana terkejut. "Aku tidak belajar dengan serius, Sensei."
"Hanya itu?" Aku ingat sekali dia bisa menyelesaikan contoh soal dari materi terbaru di depan kelas tanpa memperhatikanku mengajar sama sekali.
Tachibana mengangguk. "Kalau hal ini terjadi satu atau dua kali, aku masih bisa mengerti, tapi berdasarkan keterangan Takumi Sensei, guru matematika kelas satumu, nilaimu juga jelek hanya ketika ujian matematika. Jadi coba katakan dengan jujur, apakah ada masalah selama kau ujian?"
"Tidak ada, Sensei."
"Tachibana, jika kau tidak mengatakan yang sebenarnya, masalah ini tidak bisa diselesaikan. Bagiku ini adalah masalah, tidak mungkin murid pandai matematika sepertimu bisa gagal begitu saja di setiap ujian matematika. Dan hanya saat ujian."
Tachibana menggeleng kuat-kuat. "Sungguh Sensei, aku hanya tidak belajar dengan giat."
Akhirnya aku mempersilahkannya keluar. Jika Tachibana tidak ingin mengatakan apa-apa, aku akan mencari tahu sendiri ada apa dengannya.
"Pergilah." Kataku. "Tapi jangan naik ke atap. Kau ingat perkataanku, kan?"
Tachibana mengangguk, dia membungkuk sedikit lalu berjalan keluar dengan langkah panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Notice me, Sensei !
RomanceYume Tachibana, gadis polkadot yang jatuh cinta pada guru matematika. Yume gadis yang tertutup, selalu terlihat lelah dan tampak tidak menarik. Menjalani masa sekolah tanpa gairah anak muda, dia melanjutkan hidup seperti sebuah kewajiban hingga suat...