(16) Mawar Putih

229 31 1
                                    

Choko Yamashita tersenyum begitu manis dibalik kaca bening yang membingkai potret wajahnya. Sebuah dupa menyala tak jauh dari sana. Bunga mawar putih tersebar diatas meja. Empat lilin terbakar di masing-masing sudut meja.

Tangis terdengar dari kedua orangtua Choko. Para murid pun menangis. Guru-guru pun menunduk dalam diam. Satu persatu tamu maju, membawa setangkai mawar dalam genggaman, lalu diletakkan disamping pot keramik bermotif dedaunan liar.

Nao, Haruna, Kurumi dan Nanami terlihat paling dulu membawa bunga setelah keluarga Choko. Diikuti Aiko Iida, Yoshida Sensei, bahkan Kazuki Takahashi ada disana. Turut kehilangan mantan murid yang berharga.

"Selamat jalan, Choko." Bisik Miya saat meletakkan bunga diatas meja. Yume menyusul Miya tepat dibelakangnya.

Tidak seorang pun luput dari kesedihan hari itu. Bahkan hujan di langit musim panas mewakili perasaan kehilangan mereka.

***

Siang itu aku terkejut saat Iida Sensei datang ke rumahku dengan pakaian serba hitam dan mata sembab. Berita duka disampaikannya padaku. Dia memintaku segera berganti pakaian dan bersama-sama kami menuju rumah duka.

"Apa yang terjadi, Iida-san?" Tanyaku.

Iida mengusap matanya dengan satu tangan dan tangan lain tetap memegang kemudi. "Kecelakaan."

"Kecelakaan? Bukankah dia sedang dalam perawatan inap di rumah sakit?"

Choko Yamashita dirawat di sebuah rumah sakit jiwa di kota B, sejak peristiwa di ruang tamu kepala sekolah, kesehatan Choko Yamashita menurun drastis. Aku tidak mendapat keterangan lebih jauh tentang apa yang diderita Choko yang menyebabkannya harus dirawat di rumah sakit itu. Namun berdasarkan teman Iida yang menjadi guru pribadi Choko, dia menunjukkan gejala halusinasi yang parah dan sering tidak merespon lawan bicaranya.

"Aku tidak tahu cerita selengkapnya bagaimana." Kata Iida.

"Tapi, temanku bilang, Yamashita melarikan diri dari rumah sakit. Lalu dia ditabrak truk ditengah jalan."

"Kenapa aku tidak langsung diberi tahu, Iida-san?"

"Maaf. Aku sendiri baru tahu semalam ketika aku pulang minum-minum dengan teman. Aku tidak bisa berpikir dengan baik saat itu. Jadi aku benar-benar lupa mengabarimu."

Aku menelusuri kulit kepala dengan jari-jariku. "Jadi, kemana kita akan pergi?"

"Sebentar lagi sampai." Kata Iida. Kami tidak membicarakan apapun lagi. Hanya berdiam diri sepanjang perjalanan.

Saat sampai di gedung pribadi keluarga Yamashita, kami disambut baik dan diantar masuk. Aku dan Iida menghampiri kedua orang tua Choko Yamashita dan mengucapkan bela sungkawa.

Mereka berdua terlihat begitu terpukul. Aku merasa iba dari hati yang paling dalam. Choko Yamashita adalah anak satu-satunya, tak kubayangkan betapa besar rasa kehilangan orangtuanya.

"Aiko.." Seseorang menyapa Iida lalu memeluknya.

"Rin, aku turut merasa sedih." Ucap Iida.

Rin temannya mengangguk. "Aku tahu."

"Takahashi-san, ini temanku Rin. Dia yang menjadi perawat sekaligus guru pribadi Choko sejak dia keluar dari sekolah."

Aku menyalaminya. "Kazuki Takahashi."

"Rin Ayano." Ucap lawan bicaraku.

"Rin, Takahashi-san, aku akan segera kembali." Iida pergi menghampiri kepala sekolah yang baru tiba.

"Mari duduk, Takahashi-san." Rin mengajakku duduk di salah satu bangku yang ditata rapi.

Aku menoleh keseisi ruangan luas itu. Dipenuhi bunga mawar putih dan tamu berpakaian serba hitam, aku bisa saja lupa bahwa itu adalah sebuah acara doa terakhir kepada Choko Yamashita, suasananya sedih, namun tata ruang itu dibuat dengan begitu meriah seakan walaupun ini berhubungan dengan urusan kematian, keluarga Yamashita tetap ingin memeriahkan acaranya.

Notice me, Sensei !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang