(58) Sudut Pandang Kurumi

103 15 4
                                    

"Bagaimana kalau belajar bersama di rumah Kento?" Usul Kurumi.

"Hah?!" Kento terganggu dengan ide itu.

"Ide bagus." Timpal Haruto.

"Kenapa rumahku?"

"Aku gak punya rumah," Jawab Kurumi dengan santai.

"Kenapa tidak di rumahmu, Haruto?"

"Cukup minggu lalu, sekarang giliranmu."

"Dasar," Gumam Kento.

"Yume juga ikut, kan? Karena kau tidak tahu dimana alamatnya, aku akan menjemputmu!" Ucap Kurumi.

"Aku..." Yume menunduk menatap ujung sepatunya. "Maaf, aku tidak bisa ikut."

"Lagi?" Heran Kurumi.

"Apa urusanmu yang kemarin-kemarin itu belum selesai?" Tanya Kento.

Yume mengangguk singkat. "Mugkin jika sempat aku akan menyusul."

"Kalau ada yang bisa kami bantu, jangan sungkan. Langsung katakan saja," Ucap Haruto.

"Tentu, tapi ini bukan apa-apa, kok."

Kurumi menghembuskan nafas dengan berat. "Lagi-lagi belajar bertiga saja. Bagaimana nasib nilai ujian matematikaku nanti?"

"Aku akan meminjamkan catatanku." Yume mengambil buku catatan matematika dari dalam tas sekolahnya.

Buku itu dia pinjamkan untuk Kurumi. "Ada banyak contoh soal yang mudah untuk dipahami. Pokok-pokok penting dan rumusnya juga. Semoga bisa membantu."

"Terima kasih," Ucap Kurumi. Namun wajahnya masih tidak bersemangat. "Tetap saja, impianku untuk belajar bersama belum bisa terpenuhi."

"Impian?" Tanya Haruto. "Minggu lalu pun kau mengatakan hal yang sama."

"Tapi kau datang ke rumah Haruto membawa gim dan komik." Sambung Kento.

Kurumi tertawa karena malu lalu memukul pundak kedua teman laki-lakinya. "Sudahlah, sudahlah. Kali ini aku serius kok"

"Yosh! Dengan catatan keramat ini, aku akan mendapatkan nilai 100!" Seru Kurumi sambil mengangkat tinggi-tinggi catatan matematika Yume.

***

Kembali saat Kurumi menonton di dalam toko bunga merangkap kafe kecil di luar area pemakaman. Inilah yang dia lihat dan yang dia saksikan dan yang akan dia ceritakan.

Titik demi setitik hujan jatuh setelah membenam begitu lama dalam pelukan awan hingga membengkak gelap hampir menutupi cahaya musim semi. Tetesan hujan tergelincir dari permukaan halus kelopak melati di genggaman Yume. Tanpa vas hanya sekertas coklat polos yang melindungi tiga tangkai tunggal bunga mungil itu.

Hari itu tampaknya tidak buruk untuk mengunjungi makam teman. Yume menyeberangi jalan sepi dihadapannya tanpa terburu-buru, berjalan sembunyi-sembunyi dibawah naungan pohon-pohon dari balik tembok batu area makam menuju gerbang didepan sana.

Sedan hitam terparkir di depan gerbang itu, menunggu. Kontras ditengah kesenyapan dan hujan panas musim semi. Langkah Yume mendekat, begitupun Kazuki. Perlahan menuju titik yang sama.

Notice me, Sensei !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang