(33) Tantangan

158 26 0
                                    

"Takahashi Sensei, sepertinya aku menyukaimu."

Bagaimana menjelaskan perasaan terkejut mendengar suatu hal yang sangat ingin kau dengar, tapi juga ketakutan bahwa itu adalah nyata dan kau tidak tahu apa yang harus kau lakukan karena pengakuan dadakan itu terjadi di waktu yang tidak tepat.

Aku ingin mengabaikan Tachibana, berpura-pura tertawa lalu menasehati gadis itu sebagaimana yang sudah sering kulakukan pada siswi-siswi lain. Tapi dia bukan mereka, Yume Tachibana bukan gadis yang akan mengatakan isi hatinya kalau dia tidak yakin bahwa itu benar.

"Sensei?"

"Tachibana, banyak hal yang harus kita kerjakan. Ini bukan waktunya untuk bermain-main."

"Bermain-main?"

Aku menghampirinya, meraih gagang pintu untuk membukanya, namun Tachibana mendorongku. "Tachibana-"

"Kenapa kau terus menghindariku, Sensei?"

Menghindar adalah satu-satunya cara untuk keluar dari situasi ini, namun tampaknya aku salah. Tachibana tidak akan mundur sampai dia memastikan bahwa aku menanggapinya dengan serius. Masalahnya, aku selalu menanggapi gadis ini dengan serius, sehingga tidak mungkin bagiku untuk mengabaikannya dan memperlakukan dia sama seperti siswi-siswi lainnya.

"Aku tahu apa yang ingin kau katakan, tapi-"

"Kau tidak tahu. Kau bahkan tidak mendengarkanku dengan jelas."

Ingin rasanya aku mengatakan bahwa apapun yang ada dalam benaknya saat itu, aku tahu. Karena aku merasakan hal yang sama. Menginginkan orang yang jelas ada didepanmu, hanya selangkah dan kau bisa memeluknya sesuka hatimu.

Tapi siapa aku? Siapa Tachibana? Kami adalah seorang guru dan murid. Persetan dengan hal itu. Aku tahu sejak menyadari perasaanku, aku telah mengabaikan prinsipku sama sekali. Tapi bagaimana aku bisa menjelaskannya pada Tachibana tanpa mengatakan bahwa aku juga menyukainya.

Apalagi janjiku pada wakil kepala sekolah terus memaksaku untuk menjauhinya, perasaan yang kupendam seakan-akan ingin keluar sekarang juga.
Tapi aku harus menahannya. Hal yang paling tidak ingin kulakukan, bukan tidak ingin mengatakan perasaanku, melainkan memberikan harapan yang jelas takkan mudah untuk kita berdua.

"Apa kau begitu membenciku, Sensei?"

"Membencimu?" Aku terkejut.

Tentu itulah kesan yang didapatkannya saat aku berusaha mengabaikannya selama beberapa waktu ini, bahkan aku dengan jelas memperlihatkan bahwa aku tidak ingin melihatnya ataupun bertemu dengannya jika tidak ada hal yang begitu penting untuk dibicarakan.

"Aku tidak mungkin membencimu."

"Tapi kau-"

"Tidak mungkin aku membenci orang yang ingin sekali kulindungi."

Aku mengusap kepala Tachibana. Sekali lagi, perbuatan yang diluar kendaliku. Bagaimana bisa aku membiarkannya bersamaku dalam ruangan itu dalam waktu yang lama kalau sedetik saja aku takkan sanggup tanpa menyentuhnya. Segera kuraih gagang pintu itu dan membukanya.

"Ikut aku, kau bisa mengambil gitarnya di gudang penyimpanan."

***

Setelah semua murid berangsur-angsur pulang, Kazuki dan para guru juga bersiap-siap untuk menghadiri rapat dengan kepala sekolah dan pemilik dari salah satu yayasan panti asuhan yang sudah mereka hubungi siang itu.

"Takahashi-san."

Iida menghampiri Kazuki di mejanya, dia mengambil sebuah kartu dari sakunya dan memberikannya pada rekan kerjanya itu.

Notice me, Sensei !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang