Yume Tachibana melenggang masuk ke kelas. Beruntung kaki-kaki jenjangnya berlari cukup cepat dan tiba di pintu kelas tanpa terlambat. Dia merasa mual akibat adrenalin saat melompat-lompat melewati beberapa anak tangga seperti kesetanan. Tapi tidak seperti biasanya, ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya merasa ganjil tapi juga menyenangkan. Sesuatu yang membuatnya bersemangat.
Dalam kelas teman-temannya sudah duduk di kursi masing-masing sambil menunggu guru mereka. Yume menuju kursinya sendiri, tepat dibarisan paling belakang di dekat jendela. Saat berjalanpun semua orang menatapnya.
Gadis itu duduk dikursinya. Melirik kesana ke mari, mencari siapa saja yang kebetulan menatapnya, atau mungkin seseorang yang menggenggam minuman. Tapi tidak ada yang menatapnya secara terang-terangan, dan waktu istirahat telah selesai sehingga tidak ada seorang pun yang membawa minuman di dalam kelas.
Tak lama kemudian guru mereka datang. Serentak Yume berdiri bersama teman-temannya, memberi hormat lalu duduk kembali. Matanya tak fokus, semangat menggebu-gebu dalam dadanya membuatnya gelisah. Mencari teman. Memulai percakapan. Pikirannya hanya fokus pada kata-kata gurunya tadi.
"Tachibana?" Saat diabsen pun Tachibana tidak mendengar, dia benar-benar teralihkan. "Tachibana?!"
Saat itu seorang gadis yang duduk disebelahnya mencubit ringan lengan Yume. "Tachibana-san."
Tachibana terkejut, terpanah melihat gadis itu menyapanya lebih dulu. "Ha-halo.. Aoi-san."
#Tukk!
Sebuah pena mendarat dikepala Yume, seketika membuatnya tersadar. Saat menoleh, guru matematika mereka sudah berdiri didepannya.
***
Aku memukul dahi Tachibana sekedar untuk mengejutkannya. "Yume Tachibana! Kalau kali ini kau tidak menjawab juga, kuanggap kau membolos."
"Ha-hadir!"
"Bagus."
Seisi kelas tertawa pelan. Saat berjalan kembali ke depan kelas, kulirik Tachibana yang tidak tampak malu-malu kepada teman-temannya. Anehnya, dia seperti terkejut dan heran apa yang sedang mereka tertawakan.
Selama proses pembelajaran, kuperhatikan gadis setengah badung itu tampak serius mencatat, namun sesekali mengawasi sekelilingnya entah untuk apa. Semakin lama Tachibana semakin sering melirik teman-temannya. Apa yang dia pikirkan dan yang dia ingin lakukan, aku tidak tahu.
"Tachibana." Sebagai hukuman karena tidak fokus memperhatikan, aku memanggilnya untuk mengerjakan contoh soal di papan tulis.
"Baik." Tachibana berdiri dan maju kedepan. Saat berdiri di depan kelas, sedikit berjinjit untuk menuliskan jawabannya, murid-murid di dalam kelas itu saling berbisik.
Aku melihat salah satu dari mereka menunjuk kearah kaki Tachibana. Kuikuti pandangan mereka. Sepasang kaki jenjang yang memakai sepasang kaos kaki hitam bolong-bolong.
"Seperti polkadot, ya." Bisik mereka.
Apakah Tachibana mendengarnya? Aku tidak tahu. Kalaupun gadis itu mendengarnya, sungguh ajaib dia tetap bisa menjawab dengan benar dan rinci atas contoh soal yang kuberikan. Padahal gadis itu tidak benar-benar memperhatikan saat aku menerangkan didepan kelas. Mungkin karena kepintarannya itulah yang membuatku sering memanggilnya untuk mengerjakan contoh soal. Merepotkan kalau memanggil murid yang tidak tahu harus jawab apa.
"Terima kasih, silahkan duduk kembali.."
Kembali ke papan tulis, memeriksa jawaban Tachibana sekali lagi. Tidak salah, selalu benar. Setiap contoh soal dan kuis matematika selalu bisa dia kerjakan dengan baik. Tapi jika aku membuka daftar nilai ujian kelas ini, nilai Tachibana hampir tidak menyentuh standar kelulusan. Pertanyaannya, mengapa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Notice me, Sensei !
RomanceYume Tachibana, gadis polkadot yang jatuh cinta pada guru matematika. Yume gadis yang tertutup, selalu terlihat lelah dan tampak tidak menarik. Menjalani masa sekolah tanpa gairah anak muda, dia melanjutkan hidup seperti sebuah kewajiban hingga suat...