(44) Rutinitas Yang Abu-abu

150 25 4
                                    

Menegur murid-murid yang berlari disepanjang koridor membuatku diam-diam tersenyum. Semester baru telah dimulai hari ini. Wajah-wajah tak asing yang tersenyum menyapaku dan mengucapkan selamat tahun baru, wajah-wajah baru yang tersenyum malu-malu, dan mereka yang tidak peduli dan berjalan dengan wajah tertunduk.

Semua hal ini sebentar lagi akan kutinggalkan. Setelah mendapatkan ancaman dari wakil kepala sekolah, aku tidak berpikir dua kali untuk segera menemui kepala sekolah keesokan harinya.

Apa yang kulakukan sudah jelas. Mengatakan semua yang sebenarnya terjadi diantara aku dan Tachibana pada kepala sekolah -kecuali dibagian ciuman itu, tentu saja- sebelum dia mendengarnya dari sumber yang salah. Aku juga membawa bukti ancaman wakil kepala sekolah dan bukti bahwa selama ini wakil kepala sekolah menerima suap dari orang tua murid yang anaknya diloloskan dalam seleksi penerimaan beasiswa.

Bukti itu telah aku kumpulkan sejak setelah pertama kali wakil kepala sekolah memanggilku ke ruangannya. Sejak saat wanita itu membawa Tachibana dalam permainan kotornya, dia telah membuka rahasianya sendiri.

Setelah Tachibana mengatakan bahwa dia menerima beasiswa, aku langsung tahu bahwa wakil kepala sekolah memiliki akses tersendiri dengan bagian pengelolaan keuangan sekolah. Itu artinya dia bisa dengan mudah meloloskan dan menggugurkan seorang calon penerima beasiswa seperti dia dengan mudahnya memasukkan nama Tachibana dalam daftar penerima beasiswa tanpa adanya seleksi ulang.

Wanita itu kini sedang mendapatkan hukumannya. Bahkan terbuktinya kecurangan wakil kepala sekolah ternyata membuka fakta baru bahwa dia adalah antek-antek lama kepala sekolah sebelumnya. Bagiku dia pantas menerimanya. Padahal sudah kuperingatkan agar dia tidak menyeret Tachibana dalam permainannya.

Setelah mengajukan semua fakta itu, tanpa menunggu keputusan kepala sekolah, aku langsung memberikan surat pengunduran diri. Meski wakil kepala sekolah berhasil kusingkirkan, tidak menutup kemungkinan bahwa kaki-tangannya memendam dendam padaku dan mereka dengan cara apapun bisa menyakitiku. Hal yang paling kutakutkan adalah mereka menyeret Tachibana juga.

Selama aku ada disekolah ini, Tachibana akan terus mendapat kesulitan. Lagi pula aku tahu keputusan kepala sekolah pada akhirnya juga akan memisahkanku dari Tachibana. Setidaknya biarkan aku sendiri yang melakukannya sebagai pilihan yang kupilih dengan kebebasanku sendiri.

"Selamat pagi Iida Sensei," Sapaku.

Iida tersenyum. "Selamat pagi dan selamat tahun baru, Takahashi Sensei."

"Aku tidak melihat daftar pembagian kelas dimejaku. Dimana aku bisa mendapatkannya?"

"Daftar pembagian kelas? Oh maksudmu daftar pembagian kelas semester baru untuk kelas 2A?"

"Ya. Kudengar kita tidak lagi menempelkannya di setiap kelas, kan? Tapi langsung membacakan nama-nama dan pembagian kelasnya yang baru di home room pagi ini."

Iida mengangguk dan tersenyum. "Ya, memang sudah diganti sistemnya. Daftar untuk kelas 2A sendiri sudah kuberi pada wali kelas mereka, kok."

"Dimejaku tidak ada daftarnya, Iida Sensei."

Iida tersenyum geli kepadaku. "Takahashi Sensei, aku benar-benar sudah memberikannya pada wali kelas 2A. Wali kelas mereka yang sebenarnya."

"Astaga," Aku langsung tertawa sendiri. "Benar juga. Aku tidak menyangka menjadi wali kelas bisa semenyenangkan ini. Sampai-sampai bisa membuatku lupa bahwa aku hanya wali kelas sementara."

Setelah kembalinya Yoshida Sensei dari cutinya, aku kembali menjadi guru matematika saja. Itu artinya waktu untuk bertemu Tachibana jauh lebih banyak berkurang. Dan saat menyadarinya, aku menyesal tidak lebih lama memeluknya malam itu.

Notice me, Sensei !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang