[Song Series][Completed]
Ava, seorang layouter majalah, tidak pernah sesial ini dalam hidupnya; kekasihnya setuju dijodohkan dengan wanita lain, dan dia juga harus kehilangan pekerjaan di saat yang bersamaan.
Orang bilang, di balik kesialan, akan di...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
🎶 One look at you, I'm powerless I feel my body saying yes Where's my self control? 🎶
"Nate!"
Aku segera menyambar berkas yang ada di tangannya. Panik menguasai hingga membuat napasku menghangat. Aku baru menempuh nyaris empat jam perjalanan pulang dan kelelahan. Tenaga yang tersisa langsung tersedot habis hanya dengan pemandangan Nate di kamarku. Satu-satunya yang tidak kuinginkan terjadi adalah Nate mengetahui tentang utang Dad. Dia sama sekali tidak ada urusannya dengan ini. Ini tentang aku, Dad, dan Mom.
Kertas yang kurampas dari Nate kini sangat kumal. Aku menggenggamnya tanpa sadar. Kertas-kertas itu kusembunyikan di balik punggung, tak ingin membiarkan Nate melihatnya walau aku sudah yakin dia menemukan nominal yang tertera di sana. Dia memandangku tidak percaya. Matanya yang cokelat terang membulat lebar. Nate tak bergerak sedikit pun, bahkan tangannya masih menggantung di udara, tak berubah saat dia memegang berkas tadi dan itu membuatku berkali-kali lipat gelisah.
"Seharusnya kau tidak melihat ini," ucapku sembari membawa berkas tersebut untuk disimpan kembali ke dalam laci nakas di samping tempat tidur, meletakkannya asal-asalan. "Dan kenapa kau membuka laciku, huh?"
"Aku sedang bersih-bersih," sahut Nate, datar. Dia jadi lebih rajin membersihkan rumah semenjak kakiku sakit. "Dan aku tidak bisa disalahkan karena kertasnya mencuat dari sela-sela laci. Aku tahu kau tidak suka menyimpan kertas di mana pun selain dalam dus. Jadi, aku mengira itu sampah."
"Dammit!" Aku merutuki kecerobohanku sendiri. Otakku memanggil kembali insiden tadi pagi, tentang aku yang menelepon Pete, membujuknya yang tidak bekerja hari ini untuk menemaniku pergi ke makam Dad. Lalu setelah dia berkata sepuluh menit lagi tiba di apartemenku, aku lekas-lekas membereskan berkas tadi dan menyimpannya ke laci tanpa memeriksa lagi apakah sudah tersimpan dengan benar atau tidak.
Aku kesal dan mengacak rambutku sendiri. Sial sekali hari ini.
"Kapan kita harus membayarnya?" Nate mundur sedikit dan bersandar pada lemariku. Kedua tangannya dilipat di depan dada. Matanya yang menggelap menjadi bukti bahwa dia sedang serius saat ini.
Aku duduk di tepian kasur, berhadapan dengannya. Aku sungguh benci ketika Nate sudah seperti ini. Dia akan melakukan segala cara, kusetujui atau tidak, sepengetahuanku atau tidak, sampai akhirnya dia mendapat apa yang diinginkannya. Keras kepala, tetapi aku suka usahanya.
"Nate, dengar. Jangan libatkan dirimu dalam hal ini. Fokus saja kuliah dan bekerja, biar aku yang menyelesaikan ini." Aku bicara dengan tenang, tetapi di dalam sana kegelisahanku tak berakhir.
"Bagaimana? Kau bahkan tidak bekerja." Nate mungkin mengatakan fakta, tetapi itu sungguh melukaiku.
"Aku akan menyebar lamaran, lalu menerima lebih banyak job di situs freelance. Tabunganku juga masih ada. Atau kalau tidak terkumpul dalam setahun, aku akan cari pinjaman. Apa pun asal tidak membuatmu repot."