78 - The Girl Before a Mirror

729 108 8
                                    

Aku tidak berhenti memandang keindahan di depan mataku. Gadis itu memandang ke cermin, pada pantulan dirinya yang penuh cela. Dia tidak sesempurna itu, ada banyak kekurangan yang ditutupi dari orang lain. Boleh saja dia tersenyum, meski jauh di dalam dirinya ada tangis yang tersedu-sedu. Dia menutupi semuanya di balik riasan yang cantik, hanya agar orang-orang tidak bisa melihat sisi terlemahnya.

Namun, keseluruhan dari lukisan itu adalah sebuah kesempurnaan. Dan lukisan yang bagus memang sudah sepantasnya disimpan di tempat yang nyaman pula, bukan di ruangan sempit penuh barang-barang seperti di apartemenku. Alby sangat baik menggunakan salah satu ruangannya untuk disulap menjadi ruang menyimpan lukisan 'The Girl Before a Mirror' oleh Pablo Picasso yang dia belikan untukku.

Setelah mendengarkan hal tidak terduga dari Albert, aku tidak banyak bicara lagi. Hal itu sangat tidak terduga, dan mendatangi lukisan ini dengan alibi ingin memandanginya hanyalah alasan. Aku ingin membicarakannya dengan Alby sampai tuntas, sekaligus memutuskan apa yang akan kami lakukan.

Aku sudah berdiri di sini sejak tiba di penthouse Alby. Pria itu pergi mandi dan aku tidak lagi menghitung sudah berapa banyak waktu terbuang. Meski begitu, mataku sama sekali tidak beralih dari lukisan itu, sampai tidak menyadari kalau Alby sudah kembali bersama aroma sabun mandinya yang tidak biasa dan menyegarkan.

"Kau mau mandi juga?" tawarnya saat masih berada di belakangku. Dia tidak akan mengerti bagaimana rumitnya pikiranku sekarang, dan mandi tidak akan menyelesaikan apa-apa.

Aku berbalik, menatapnya dengan serius dan menghela napas. Bisa-bisanya dia masih tersenyum, bersikap seolah tidak ada yang terjadi saat di rumah orangtuanya tadi. Aku bersedekap, sengaja ingin memperlihatkan betapa aku sangat kesal padanya.

"Kau melarangku pergi, tapi kau sendiri mau pergi? Menurutmu kita tidak akan mendiskusikan tentang apa yang ayahmu bebankan padaku?"

Decihan pelan meluncur dari bibirnya yang agak tebal. Dia berjalan mengitari ruangan sampai berakhir mendaratkan pantatnya di sofa. Benar-benar tidak pantas dia seperti itu, padahal dia sendiri yang menciptakan kebohongan itu hingga berefek terlalu jauh. Alby sendiri yang mau kami terlihat sebagai pasangan di depan orangtuanya.

Waktu itu, andai saja Alby berkata jujur pada Paula tentang hubungan kami, atau langsung membiarkan aku pulang tanpa menahan-nahanku sampai Paula datang, tentu masalahnya tidak akan sampai sebesar ini.

"Aku sengaja tidak memberitahumu karena ingin mengulur waktu. Aku sudah bilang pada Dad kalau aku tidak bisa ke sana dalam waktu dekat. Kubilang tahun depan, tentunya setelah rencana itu berhasil. Dengan aku menjadi milikmu, kita bisa ke Eropa bersama. Kau mau pergi, 'kan? Aku akan mendampingimu." Alby tersenyum tipis, entah hanya perasaanku saja atau dia memang menganggap itu adalah solusi terbaik. "Kita hanya perlu memikirkan jawaban untuk menolaknya sementara."

"Menurutmu rencana itu pasti berhasil? Kau hanya memikirkan plan A, bagaimana dengan plan B? Kita perlu backup, bukankah begitu? Aku justru berharap rencana itu gagal. Agar aku tidak perlu ikut denganmu ke sana."

"Tapi aku tidak berencana untuk gagal."

"Kata seseorang yang seumur hidupnya selalu mendapatkan apa yang dia mau. Tapi aku, siap untuk menolak apa pun rencanamu yang akan melibatkan aku."

Sekali lagi Alby dengan kesombongannya. Andai dia sadar, dia tidak lebih dari pria beruang yang akan memanfaatkan hartanya untuk mendapatkan apa yang dia mau. Bahkan aku ada di sini pun karena uangnya. Uang. Uang. Uang. Makin aku memikirkannya, makin kesal juga aku dengan fakta betapa banyak uangnya. Bahkan untuk digit yang dia keluarkan untuk lukisan yang kini kupandangi lagi, masih sulit dipercaya kalau semua itu murni adalah uangnya.

Heart to Break [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang