69 - Quality Time

983 100 6
                                    

Satu hari yang padat terlewati. Aku tiba di rumah lebih cepat dari yang kukira. Bukan karena biasanya pulang terlambat dan hari ini aku pulang sebelum jamnya, tetapi karena aku memang tidak mampir ke mana-mana dan langsung pulang. Mantel dan tas kubiarkan tergeletak di lantai, sedangkan aku langsung menuju kamar mandi setelah meraih jubah mandi dari balik pintu kamar.

Mandi air hangat sangat kubutuhkan di penghujung musim gugur ini. Cuaca makin dingin dan saat di perjalanan pulang, angin berembus sedikit lebih kencang dari biasanya.

Tiba-tiba aku merindukan Hyunjoo. Wanita satu itu sangat suka musim dingin. Dia akan bersemangat menantikan hujan salju pertama. Namun, dia tidak ada di kota saat ini. Setelah melangsungkan pernikahan di sini, dia dan Dave melangsungkan pernikahan dengan tradisi keluarga Hyunjoo di Korea. Terhitung sudah dua minggu mereka di sana. Jeff baik sekali memberi mereka cuti yang panjang.

Tiga hari lalu, aku sempat melakukan panggilan video bersama pengantin baru itu, dengan Pete juga. Sepanjang mengobrol, Hyunjoo tidak berhenti tersenyum. Dave pun sama. Aku bisa melihat betapa mereka sangat bahagia, seolah-olah masa depan yang menanti mereka akan selalu baik-baik saja.

Apa aku juga akan mendapati masa-masa seperti itu suatu saat nanti? Aku terus memikirkannya, sampai akhirnya tidak yakin dengan masa depanku sendiri. Hidupku terlalu suram sampai sulit menemukan titik terang yang mampu menarikku keluar dari lubang hitam ini. Setidaknya aku pernah berpikir hidupku baik-baik saja sebelum Jeff menerima perjodohan dengan Claudia.

Parahnya, banyak hal rumit terjadi begitu aku bertemu Alby.

Aku tidak bisa membiarkan sosoknya berkeliaran di kepala, tepatnya tidak saat aku merasa nyaman setelah diguyur air hangat dari pancuran. Sebelum itu terjadi, aku segera mematikan pancuran dan keluar dari bilik. Di depan cermin, aku terus meyakinkan diri kalau Alby tidak pantas untuk dipikirkan. Saking yakinnya, aku sampai mengangguk kuat.

Kuraih jubah mandi dan langsung memakainya, disusul meraih handuk untuk mengeringkan rambut. Terkadang jubah mandi bisa jadi pakaian ternyaman untuk dipakai di rumah. Terlebih lagi ketika hanya sendirian di rumah. Nate bilang akan mampir ke rumah temannya sepulang bekerja. Dia memberiku me time di saat yang tepat.

Namun, apakah ada hal yang lebih buruk selain rencanamu dihancurkan oleh seseorang yang tidak kauharapkan keberadaannya? Aku bahkan baru dua langkah keluar dari kamar mandi dan sudah harus menghela napas frustrasi.

Sekarang dia berdiri kokoh dengan memakai apron di seberang meja makan. Senyumnya yang seksi itu terpatri di wajah, dan sialnya selalu berhasil mengalihkan perhatianku. Dia seharusnya tidak berada di sini, tetapi di belahan bumi yang lain sampai seminggu ke depan. Situasi ini salah.

Aku bersedekap, menahan diri agar tidak mewujudkan keinginan untuk memeluknya. Karena sebanyak apa pun aku berusaha mengelak, tetap tidak akan mengubah fakta kalau aku merindukannya. Aku tidak mau membuatnya senang jika mengaku.

"Aku tidak mengerti kenapa kau suka sekali muncul di saat aku baru selesai mandi?" Dan aku baru menyadari itu tepat sebelum mengatakannya.

"Karena aku selalu beruntung?"

"Dan sial bagiku. Lalu bagaimana kau bisa masuk ke sini, hm?"

Alby, yang sudah menerobos masuk ke apartemenku, meletakkan semangkuk entah adonan apa itu ke atas meja dan menumpukan kedua tangannya di sana. Matanya bergulir liar memindai tubuhku dari kepala sampai kaki. Tentu saja aku segera mengeratkan jubah mandi, takut dia menemukan celah untuk mengintip meski aku sadar dia tidak bernafsu dengan tubuh yang seperti ini.

"Aku harus membayar Nate untuk mendapatkannya. Cerdas, bukan?" Itu bukan cerdas, tetapi memanfaatkan kekuasaannya demi kepentingan pribadi. Alby tampak sangat percaya diri dengan apa pun yang sedang direncanakannya. "Demi keamanan, sebaiknya kau segera berpakaian agar aku bisa dengan tenang mengeringkan rambutmu."

Heart to Break [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang