70 - Friend

985 85 9
                                    

Aku tidak ingat pernah tidur sangat nyenyak seperti semalam semenjak ditinggal Mom. Kasurku terasa berkali-kali lipat lebih nyaman dari biasanya. Bahkan meski kota sudah memulai rutinitas pagi, aku masih enggan beranjak dari kasur. Lagi pula, ini akhir pekan. Aku libur bekerja dan memangnya apa yang harus kulakukan selain bersantai?

Selimut kutarik lagi sampai menutup leher. Hari ini kuputuskan untuk tidur lagi. Nate mengabari kalau akan menginap dan biasanya tidak akan pulang sebelum sarapan. Dia memberiku waktu untuk tidur lebih banyak tanpa harus merasa gelisah bahwa ada perut yang harus diisi.

Sayangnya, aku tidak jadi ingin tidur lagi ketika pintu kamar dibuka.

"Kau sudah bangun?"

Aku menoleh sekadar untuk menemukan Alby berjalan kemari dengan membawa nampan. Damn, aku lupa kalau dia menginap semalam. Boleh kutarik kembali kata-kataku tadi? Aku tidak ingin itu berarti kehadirannyalah yang membuat tidurku nyenyak. Masih sulit bagiku untuk mengakui bahwa Alby memberi pengaruh-pengaruh baik padaku.

"Dan kau menanyakan sesuatu yang jelas-jelas jawabannya ada di depan mata." Aku menarik selimut sampai menutup wajah. Bisakah kali ini aku menikmati akhir pekan dengan tenang?

"Kau tidak boleh tidur lagi, Ava." Dari sumber suaranya, Alby mungkin sudah berada di sebelahku, karena setelah itu disusul suara benda yang diletakkan ke atas nakas. Mungkin itu nampan yang dia bawa tadi.

"Jangan ganggu, aku mau tidur lagi." Suaraku teredam oleh bantal sebagian karena posisi yang berbaring miring.

Kasurku bergerak sedikit, seperti baru dinaiki seseorang. Ya, tentu saja, Alby pasti sedang duduk di belakangku. Demi apa pun yang akan dia lakukan, aku lebih suka kalau dia pulang saja. Aku sudah lelah menikmati jantung yang berdebar-debar. Alby adalah pria terjahat yang kukenal, karena makin dia tahu apa yang kurasakan kepadanya, dia justru membuatku jungkir balik dengan sikapnya yang tidak kumengerti apa tujuannya.

"Kalau kau tidak bangun, nanti es krimnya meleleh." Alby bahkan mengatakan itu tepat di telingaku.

"Kau gila, ya? Ini penghujung musim gugur, masih pagi, dan kau sudah menyajikan es krim untukku?"

Satu lagi, kata es krim mengingatkanku pada saat itu, ketika dia menyapu sedikit es krim di sudut bibir kemudian menjilat jarinya. Wajahku sudah panas karena mengingat betapa seksi senyumnya saat itu, dan makin panas lagi setelah menduga-duga apa yang akan terjadi hari ini. Aku bisa menyebut diriku seperti setrika yang baru disambungkan ke listrik dan menghangat pelan-pelan hingga akhirnya panas.

Lama Alby tidak menjawab, tetapi gumamannya terdengar panjang.

"Aku yakin kau tidak menyebutkan waktu dan musim secara spesifik selain suka menikmati es krim di kasur sambil bersantai."

Aku terpaksa menyibak selimut sampai sebatas pinggang dan memaksa diriku agar duduk. Kepalaku pusing karena gerakan tiba-tiba itu. "Kau penguntit."

"Aku punya Nate sebagai informan, kau lupa?"

"Tapi aku tidak pernah menceritakan itu padanya." Aku mengerang frustrasi, mengacak-acak rambut sebagai pelampiasan.

"Lalu dengan cara apa lagi aku mengetahuinya?" Wajah Alby tampak dikuasai kekesalan. Satu hal yang sudah kupelajari, wajahnya akan seperti itu jika aku tidak memercayainya. "Kaukira aku akan menyusup ke sini dan membuka buku harianmu?"

Aku meringis ngeri karena yang satu itu tidak pernah terbayangkan akan kulakukan. "Aku tidak menulis buku harian."

"Dan aku juga tahu kau bukan orang yang suka mengumbar tentang kebiasaan atau hal-hal yang kau suka secara sembarangan. Mungkin kau lupa pernah bercerita pada Nate?"

Heart to Break [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang