19 - First Date

941 105 3
                                    

Jam sembilan pagi, aku sudah berdiri di depan gedung apartemenku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jam sembilan pagi, aku sudah berdiri di depan gedung apartemenku. Pohon palem yang ditanam dekat pagar menjadi sandaran dan aku duduk di pot besarnya. Nyaris setiap mobil yang memelankan lajunya tak luput dari pandanganku. Aku benci mengakui ini, tetapi aku selalu berharap kalau pengemudinya adalah Alby.

Andai ini kencan sungguhan, Alby sudah mendapat poin minus karena membuat pasangannya menunggu. Selalu seperti ini. Sudah lima belas menit berlalu, tetapi belum tampak tanda-tanda kedatangannya, bahkan memberi kabar kalau akan terlambat pun tidak. Dia selalu membuat janji yang tidak bisa dipenuhinya sendiri. Parahnya, dia dengan tidak tahu diri menuntut orang lain untuk menepatinya. Alby benar-benar sesuatu. Apa dia juga seperti ini saat masih berkencan dengan Claudia?

Tentu saja tidak. Memangnya siapa yang tidak bersemangat untuk menemui seseorang berpenampilan menarik? Aku sudah menemui kejadiannya berkali-kali. Claudia adalah contoh nyata dari wanita cantik yang tidak akan diabaikan oleh siapa pun. Rencana liburan semester akan di-reschedule jika dia berhalangan ikut. Hal serupa tidak akan terjadi kepada yang lain, termasuk aku.

Lihat saja seperti apa diriku.

Rambutku diikat satu tinggi dengan rapi. Karena mulai memasuki musim panas, jadi aku meninggalkan jaket yang menjadi ciri khas gaya berpakaianku. Sweter tebal dengan leher bentuk V tinggi berwarna broken white membungkus tubuhku, lengannya bermodel semi balon. Bagian bawah sweter kumasukkan ke celana jeans hitam high waist yang melebar di bagian bawahnya. Terakhir, ankle boots melengkapi penampilanku.

Aku tak peduli seperti apa penilaian Alby tentang penampilanku nanti, yang pasti aku merasa nyaman dengan pakaian yang super tertutup ini.

Sebuah mobil Merchedez berhenti di depanku. Aku jadi menyesal sudah terlambat kembali memasuki apartemen. Rencananya, lima menit lagi menunggu, aku akan membatalkan rencana kencan ini dan menyelesaikan beberapa pekerjaan freelance. Lumayan untuk menambah pemasukanku. Namun, aku kalah cepat dari Alby.

Pria itu keluar dari mobil dan berjalan menghampiriku dengan gagahnya. Kacamata hitam bertengger di atas hidungnya. Aku tidak tahu dia sedang melindungi matanya dari apa, padahal hari ini tidak cukup terik.

"Kau siap?"

"Apa terlambat memang kebiasaanmu?" sahutku agak kesal.

Aku sempat mengirim pesan yang menyatakan aku membatalkan rencana kencan ini pagi-pagi sekali. Namun, dia justru membalas dengan foto selembar tanda terima uang yang nominalnya sebesar utang Dad, alih-alih menerima penolakanku. Dia membayar diam-diam tanpa sepengetahuanku dan menjadikannya sebagai ancaman. Licik sekali pria ini.

Alby menghela napas setelahnya. "Aku punya alasan untuk itu, tapi aku tidak yakin kau akan suka mendengarnya.

Aku berdecih pelan. "Aku bahkan tidak ingin tahu."

"Ayo berangkat." Alby membuka pintu penumpang dan mengisyaratkan agar aku masuk.

Namun, aku berhenti sebentar di depannya dan bertanya, "Kita pergi ke mana?"

Heart to Break [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang