46 - He is Nervous

846 108 2
                                    

Aku akan setuju seseorang berkata kalau benci dan cinta itu beda tipis. Well, setidaknya begitu yang terjadi padaku saat ini. Mungkin aku menyukai Alby sebesar aku membencinya--ya, kuharap itu masih sekadar suka dan tidak sampai memasuki tahap di mana orang-orang menyebutnya jatuh cinta. Sayangnya, aku tidak yakin itu akan berhasil mengingat betapa seringnya dia muncul di hadapanku.

Ya, Tuhan, aku bahkan tidak tahu mana yang lebih bagus; membenci atau terus membiarkan diriku jatuh cinta padanya.

Biasanya kafe ini menjadi tempat ternyaman untuk aku dan Hyunjoo mengobrol berdua, sayangnya keberadaan Alby mengacaukan semuanya. Aroma kopi yang menguar di ruangan ini dicemari oleh parfumnya. Musik yang diputar oleh para pekerja kafe pun rusak oleh suaranya. Bahkan jika perlu lantai ini harus dipel ulang karena tercemari oleh jejak kakinya. Sungguh, aku tidak ingin menemuinya saat ini. Aku juga benci saat tubuhku bereaksi karena dia ada di dekatku.

Jika benar aku sedang jatuh cinta, kenapa harus Alby? Takada hal baik dalam dirinya selain--aku juga benci harus mengakui ini--ciumannya. Tentu, aku merasa seaneh ini sejak dia menciumku untuk kali pertama.

Selagi mereka sibuk mengobrol, aku mengerjakan pekerjaanku. Bahkan agar tidak mendengar terlalu banyak dan berujung merusak konsentrasiku, aku menyematkan Airpod ke telingaku dan menyalakan musik dengan volume keras. Aku tidak benar-benar menulikan pendengaran, kadang tawa mereka masih terdengar samar-samar. 

Minumanku habis, aku baru menyadari itu karena ingin meminumnya lagi. Demi memesan segelas lagi, aku menekan tombol jeda untuk musik yang berputar di ponselku dan melambai pada salah seorang pelayan yang berdiri tidak jauh dari meja kami.

"Akhirnya dia mendengarkan dunia." Suara Hyunjoo di antara cekikikan itu membuatku memicing ke arahnya. Tahu bahwa aku tidak cukup senang dengan ucapannya, dia hanya mengangkat dua jarinya membentuk simbol peace.

"Kau benar-benar fokus dengan pekerjaan sampai tidak peduli denganku." Alby mendorong gelas minumnya yang masih utuh ke arahku. Aku tidak menolak meski ingin sekali menyiramkannya ke wajah Alby—seperti yang dulu kulakukan pada Jeff.

Namun, aku tetap meminumnya mengingat pelayan tadi tidak kunjung menghampiriku, mungkin tidak menyadari aku melambai ke arahnya. Lagi pula, Alby belum meminumnya.

"Kenapa kau di sini? Apa kantor sudah tidak membutuhkanmu lagi?" Aku menyesap minuman tadi menggunakan sedotan dan mataku tertuju pada jam di sudut layar iPad-ku. Terhitung sudah tiga jam sejak dia datang ke sini. Apa sudah makan siang?

"Kau tidak merespons pesanku, jadi kuputuskan untuk menyusul. Beruntungnya, wanita ini sedang bersamamu. Aku bertanya pada orang yang tepat."

Berapa kali aku menyebutnya aktor yang baik? Sampai aku sendiri bosan memujinya. Caranya mensyukuri itu bahkan tampak sangat nyata dan seperti tidak dibuat-buat. Aku mati-matian berusaha agar tidak tersanjung oleh sandiwaranya.

"Harusnya kau malu, menyeretku pergi di tengah-tengah acaranya semalam." Aku sadar itu bukan cara yang baik untuk bicara dengan kekasih, tetapi Hyunjoo mengenalku cukup baik, beginilah aku dan seperti inilah caraku bicara dengan Jeff dulu.

"Maafkan aku, Hyunjoo. Kami sama-sama panik dan tidak punya waktu untuk berpamitan semalam."

Bisakah Alby tidak bersikap sok tulus seperti itu? Hyunjoo sampai tidak bisa kesal dan justru terpesona pada ketampanannya.

"Bukan masalah. Aku bisa mengerti." Hyunjoo memang lemah pada pria tampan.

Di bawah meja, aku menendang pelan kaki Hyunjoo. Dia spontan menatapku yang sedang memberi kode agar dia meninggalkan kami sebentar. Aku tahu Alby berencana untuk membawaku pergi dan membicarakan kejadian semalam di tempat lain, tetapi aku sudah berjanji pada Hyunjoo untuk menemaninya seharian. Cara terbaik adalah dengan dia memberi kami waktu sebentar saja untuk mengobrol.

Heart to Break [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang