89 - Bruises

795 81 9
                                    

"Kau berkelahi?"

Pertanyaan itu terlontar begitu saja sampai aku sendiri kaget karena berspekulasi sampai ke sana. Troy tidak memiliki garis muka selayaknya orang-orang yang akan mengambil jalur kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Setidaknya begitu yang terus kupercaya tentang dirinya. Dia juga tidak pelit untuk tersenyum pada orang-orang yang ditemuinya--ini cukup membuktikan kalau kecil kemungkinan dia dimusuhi. Sekarang pun dia masih bisa tersenyum.

Ugh. Aku tidak bisa tidak meringis hanya karena membayangkan akan sesakit apa luka di sudut bibirnya ketika tersenyum lebar seperti itu. Namun, itu bukan satu-satunya alasan yang membuatku menganggap kondisi wajahnya tidak baik-baik saja. Pelipis, bagian bawah mata kiri, sampai rahangnya pun membiru dan nyaris ungu. Yang di bawah mata itu mungkin agak bengkak.

Aku tidak yakin kami akan mengobrol dengan tenang ketika di kepalaku muncul beragam dugaan buruk. Sebaiknya aku kembali ke ruangan, atau ke kafe kantor dan mencari sesuatu untuk makan siang. Kabur dari hadapannya juga bukan ide yang bagus. Dan aku tidak tahu apakah luka-lukanya sudah diobati dengan benar.

"Troy, katakan, apa yang terjadi?" Aku melangkah maju sampai bisa melihat lebih jelas luka-luka di wajahnya.

"Bukan apa-apa. Sudah biasa anak laki-laki berkelahi." Dia masih bisa bergurau rupanya.

"Kau pria dewasa. Perkelahian anak-anak tidak akan sampai seperti ini." Aku diam sebentar, mencari-cari alasan untuk bisa peduli padanya. Troy bisa saja risi kalau aku terus berusaha untuk tahu apa yang terjadi padanya. "Kau bisa ceritakan apa saja padaku--sebagai teman."

Baiklah, aku sadar itu terdengar kikuk dan berkat itu, Troy bisa tertawa sekarang. Masalahnya, aku tidak bisa merasa tenang karena tidak bisa berhenti menduga kalau dia bertengkar dengan Matthew. Pria itu jelas akan marah karena Troy yang memberikan pekerjaan ini padaku.

"Sebaiknya kita makan dulu. Dan jangan memberi perhatian berlebih, aku bisa salah paham."

Troy memutar badannya, tetapi tidak langsung pergi. Tolehan kepalanya mengisyaratkan agar aku turut melangkah bersamanya. Berkat rasa bersalah dan penasaran yang berkecamuk dalam dada, aku pun berjalan di sebelahnya.

"Kuharap Pasta Puttanesca tidak masalah untukmu. Aku tidak bermaksud menahanmu lama-lama di sini, jadi kupesan menu yang sama."

Di atas meja yang kami datangi sudah terdapat dua piring Pasta dan dua es jeruk yang satunya sudah berkurang sepertiga gelas. Embun di gelas itu sudah lumayan banyak dan membuktikan bahwa Troy sudah cukup lama menungguku. Andai kakiku baik-baik saja, aku tentu bisa berlari agar tiba lebih cepat.

"Aku bisa makan apa saja. Terima kasih, Troy."

Selanjutnya, kami menyantap apa yang tersaji di atas meja. Meski tidak ada satu pun yang bicara, tetapi aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak mencuri-curi pandang ke arahnya. Aku masih mempertanyakan seberapa sakit sudut bibirnya itu, dia menahan ringisan setiap menyuap makanannya ke mulut.

"Ah, sial."

Meski pelan, nyaris seperti desisan, aku masih bisa mendengar umpatannya. Troy menyembunyikan wajah kesakitan dalam tundukan dan telunjuknya sudah menyentuh sekitaran sudut bibir yang terluka. Aku tidak bisa pura-pura tidak melihat itu mengingat kami duduknya berhadapan.

"Apa sudah diobati?"

Troy mendongak lagi untuk menatapku, memperlihatkan sudut bibirnya yang kini berdarah.

"Tentu. Tapi di bagian sini memang benar-benar luka yang mengeluarkan darah." Dia menunjuk sudut bibirnya. "Tidak apa-apa, Ava. Tidak perlu menatapku sebegitunya."

Bagaimana mungkin aku tidak cemas melihat itu? Terlebih dengan dugaan kuat kalau itu gara-gara Matthew. Aku ingin sekali bertanya lagi, tetapi takut itu justru membuat Troy tidak nyaman, atau malah merasa aku ikut campur terlalu jauh.

Heart to Break [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang