28 - Santorini

890 99 4
                                    

Kami tiba di Bandara Nasional Santorini setelah menempuh 22 jam perjalanan di udara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kami tiba di Bandara Nasional Santorini setelah menempuh 22 jam perjalanan di udara. Aku bahkan hampir limbung saat berjalan menuruni tangga pesawat, tetapi Alby berbaik hati menahan tubuhku agar tidak sampai terjatuh. Tentu saja, dia berjalan sejajar denganku. Membiarkanku jatuh hanya akan merusak citranya, dan membuatnya mendapat julukan sebagai pria yang tidak gentle.

Di sini sangat terang, matahari bersinar tanpa ragu dan malu-malu, tetapi tidak menyengat. Aku sampai harus menyipitkan mata dan terus menunduk karena kesilauan. Kepalaku juga berdenyut, kurasa ini jetlag, dan dengan sangat terpaksa aku menggamit lengan Alby agar tidak terjatuh, padahal dia sedang mendorong troli berisi koper-koper kami. Tentu saja Alby tidak menolak dan dengan senang hati menjadikan ini sebagai sandiwara di depan Paula.

Untuk hal-hal yang sering kali dilakukan orang-orang kaya, salah satunya bepergian dengan pesawat, aku sangatlah payah.

Aku memandang Paula yang tampak baik-baik saja dan mampu mengayunkan tungkainya di atas hak dengan sangat seimbang. Dengan kemeja putih tanpa lengan dan celana kulot berwarna putih saja dia sudah mampu menarik atensi orang-orang. Ada scarf berwarna jingga yang melilit dan memperindah leher jenjangnya. Rambut cokelat tuanya yang bergelombang berayun dengan lembut seiring langkahnya, seolah-olah menegaskan bahwa helaiannya sehalus sutra.

Keluarga Alby benar-benar bibit unggul. Dua bersaudara ini saja sudah membuatku takjub. Seperti Alby, Paula pasti juga dikejar-kejar banyak pria di luar sana. Namun, aku tidak merasa dia sedang berhubungan dengan seseorang saat ini, atau dia hanya tidak menceritakan soal itu, entahlah. Pikirkan tentang itu nanti, aku perlu menahan diri untuk tidak terkejut saat menemui orangtua mereka.

Bicara soal orangtuanya, kami tidak berangkat bersama mereka. Kata Paula, mereka masih harus menyelesaikan beberapa urusan dulu sebelum menyusul ke sini. Mereka keluarga yang berkecimpung di bidang bisnis dan tentu saja tidak akan mengabaikan urusan sekecil apa pun. Kupikir itu bagus, karena rasanya akan sangat memalukan kalau harus menemui mereka dengan kondisiku yang tidak cukup baik seperti sekarang.

Aku hanya ingin kami cepat-cepat tiba di penginapan dan tidur. Tidur sampai malam meski sekarang masih pagi. Ya, di arlojiku masih menunjukkan pukul 8.20. Awalnya aku percaya, tetapi setelah seorang petugas bandara menyapa kami dengan selamat siang, aku baru menyadari adanya perbedaan waktu antara New York dan Santorini.

"Sekarang jam berapa?"

"Hampir setengah empat sore waktu sini." Alby menjawab dengan tenang.

"Apa masih lama ke penginapan? Kurasa aku perlu tidur."

"Setelah mendapatkan koper-koper kita, kita akan langsung ke vila."

Aku mengangguk dan sebentar meminjam pundaknya untuk bersandar. Kepalaku makin berdenyut, padahal aku yakin sudah banyak tidur saat di pesawat.

Kami dijemput oleh seorang pria, berambut cepak hitam dan mengenakan kaus oblong superketat yang memamerkan tubuh atletisnya, yang kelihatannya mengenal Paula sangat baik. Mereka saling sapa dengan bahasa yang tidak kumengerti, kupikir itu bahasa Yunani. Paula mungkin sering berkunjung ke sini, atau dia memang serajin itu untuk mempelajari bahasa daerah sini.

Heart to Break [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang