Sudah dua puluh menit mereka di kamar Alby. Entah bagaimana waktu terasa berjalan sangat lambat. Dan aku dengan bodohnya masih menunggu di sini, mondar-mandir seperti orang tidak punya kerjaan dengan gelas yang sudah kosong. Aku bahkan sempat membuat minuman untuk diriku sendiri. Sebenarnya aku bisa pulang sekarang kalau mau‐-well, andai saja hujan di luar sana sudah berhenti, pasti kulakukan.
Mantel dan kardigan sudah kulepas dan diletakkan sembarang di sofa, menyisakan kemeja hitam dengan celana kulot warna cokelat tua--style yang terlalu formal untukku, tetapi aku tidak akan dibayar jika tidak menuruti aturan perusahaan mereka. Harinya dingin, tetapi aku merasa gerah karena sisa dari yang kami lakukan sebelum Claudia datang.
Ya, ampun. Kira-kira apa yang sudah terjadi sekarang jika Claudia tidak datang?
Alby baru kukenal beberapa bulan, tetapi aku sudah merasakan hal seperti ini. Semua sentuhannya, aku menyukainya. Baru mengingatnya saja, jantungku sudah berdebar. Namun, aku tentu sadar untuk tidak buru-buru menyerahkan diri padanya. Masih ada kemungkinan dia akan kembali bersama Claudia meski dia sudah mengaku ingin memulai semuanya lagi dengan benar.
Sayangnya, bagi beberapa orang, janji dibuat untuk dilanggar demi kesenangan mereka sendiri.
Suara ketukan hak Claudia terdengar lagi. Aku tidak tahu kalau mereka sudah selesai karena berdiri menghadap jendela besar di sana. Saat dia makin dekat, suaranya terdengar lebih keras, aku berbalik dan melempar senyum kepadanya.
"Yang kaucari sudah ketemu?" Aku bertanya sebagai bentuk basa-basi.
Claudia mengangkat benda yang dicarinya. "Aku tidak tahu bagaimana ini bisa terlepas dan terselip di antara dekat kepala ranjang. Ceroboh sekali aku."
Aku mempertahankan senyum sebisa mungkin meski dahi ini sudah berkerut, keheranan. "Wow. Benda itu berada di sana cukup lama, ya?" Kuanggap kali terakhir Claudia datang ke sini adalah sebelum hubungan mereka berakhir, meski aku sendiri tahu ada banyak kemungkinan bisa terjadi.
Dia tidak langsung menjawab. Dan aku menunggu tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan darinya. Kali ini dia tidak tampak sedikit pun merasa bersalah seperti saat dia mengakui bahwa masih mencintai Alby. Mungkin yang kulihat kemarin, bukan dia yang sebenarnya.
"Um, sebenarnya tidak terlalu lama. Aku--"
"Ada lagi yang kauperlukan, Claudia?" Suara Alby terdengar menggema dari lorong.
Senyum Claudia berubah agak masam--sialnya aku terlalu peka untuk sadar soal itu. "Hanya mengobrol sedikit dengan Ava. Baiklah, aku pulang. Terima kasih."
Aku masih memperhatikan Claudia sampai dia lenyap di balik elevator. Wanita sepertinya mana mungkin bisa kusaingi. Terlebih lagi, dia sudah berhasil mendapatkan hati Alby. Poin-poin yang dimilikinya sudah jauh lebih banyak dariku.
"Kukira kau sudah pulang." Alby sudah berada di hadapanku saat dia mengatakan itu.
Aku tidak langsung menjawab dan menatap langit yang masih belum kehabisan air untuk membasahi bumi.
"Seandainya tidak hujan deras di luar, tentu saja aku sudah pulang." Aku berjalan kembali ke sofa setelahnya. Gelas yang sejak tadi berada dalam genggaman kuletakkan ke atas meja dan kupakai lagi mantelku. Sepertinya tidak masalah kebasahan sedikit saat menunggu taksi tiba.
"Kupikir kau akan memberi kami kesempatan untuk bicara berdua saja seperti waktu itu. Aku punya payung kalau diperlukan."
Tanganku spontan jatuh ketika membenahi kerah mantel. Setelah diberi harapan, apa sampai melupakan rencana agar Claudia segera mengakui perasaannya kepada Alby. Yang tadi itu, mungkin bisa menjadi kesempatan bagus untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart to Break [✔]
Romance[Song Series][Completed] Ava, seorang layouter majalah, tidak pernah sesial ini dalam hidupnya; kekasihnya setuju dijodohkan dengan wanita lain, dan dia juga harus kehilangan pekerjaan di saat yang bersamaan. Orang bilang, di balik kesialan, akan di...