44 - Jeffrey

929 114 8
                                    

Aku meminta Pete menjemput pukul empat sore. Terlalu dini untuk tiba di acara pertunangan Hyunjoo dan Dave, tetapi waktu yang tepat untuk berangkat sebelum Alby datang. Aku tidak ingin pria itu mengikuti dan merusak rencanaku untuk datang bersama Pete. Tentu saja Pete protes karena di jam itu dia baru pulang kerja.

Tiga hari setelah makan siang bersama di arena balapan kuda, kami tidak banyak bicara, tetapi aku masih tinggal di penthouse-nya karena ada Paula. Wanita itu kerap bertanya apakah kami baik-baik saja, padahal aku yakin sudah bersikap senatural yang kubisa saat ada Alby. Dia terlalu peka meski kami sudah memainkan peran itu dengan baik.

Aku berdiri cukup jauh dari gerbang gedung apartemen yang ditinggali Alby, separuh menyembunyikan tubuhku di sebelah pohon. Itu sengaja kulakukan untuk berjaga-jaga, mana tahu Alby atau Paula datang dan melihatku berjaga di sana seperti petugas keamanan.

Aku sudah mengeluarkan ponsel, siap untuk menelepon Pete, tetapi mobil pria itu sudah tampak dan berhenti tepat di depanku. Terlambat lima menit, aku tidak akan protes karena jarak kantornya dengan daerah ini lumayan jauh.

"Seperti yang kaulihat, aku belum menyesuaikan dress code-nya." Pete mengatakan itu sembari melajukan mobilnya. "Aku harus pulang dulu."

Aku mengangguk-angguk. "Ya. Aku bisa melihatnya dan mobil ini dipenuhi oleh aroma kerja kerasmu." Dalam artian, aroma keringat Pete. Namun, aku hanya bergurau, bau keringatnya tidak seburuk itu.

"Ingatkan aku untuk memakai parfum lebih banyak nanti."

Setelah sekian lama, akhirnya aku kembali ke rumah Pete. Takada yang berubah, hanya cat yang diperbarui di beberapa bagian. Orangtua Pete sangat rapi dan pembersih, aku ingat dulu sering membantu mereka membersihkan rumah. Jadi, tidak heran jika barang-barang di rumah mereka masih sangat bagus meski sudah cukup lama.

Sayangnya, mereka sedang tidak ada di rumah. Yang kulakukan hanya menunggu Pete berganti pakaian sampai pukul setengah enam. Walau meminta Pete menjemput pukul empat, bukan berarti aku juga akan tiba lebih awal di rumah Hyunjoo.

"Menurutmu aku harus pakai dasi merah atau biru?"

Aku sedang memainkan ponsel di kasur Pete saat dia keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai kemeja putih. Catat, hanya kemeja dan tanpa celana. Jika saja kemeja itu tidak cukup panjang, aku mungkin bisa melihat celana dalamnya. Aku sudah tidak terkejut lagi pada kelakuannya yang satu itu.

"Kau mau merusak pesta Hyunjoo, ya? Dia sudah menulis agar hanya menggunakan warna ungu untuk aksesoris pelengkap penampilan." Saat mengatakan itu, aku juga meraih bantal untuk kemudian kulemparkan ke arah Pete. Benda empuk itu mendarat tepat di aset miliknya—dan aku tidak sengaja melakukannya. "Pakai celana, tolong, aku bisa memotretmu kapan saja dan menyebarnya ke internet."

Pete menggeleng pelan dan mengacungkan jari manisnya padaku. Dia ingin seperti orang-orang yang mengacungkan jari tengah saat merasa kesal, tetapi Pete tidak pernah melakukannya pada wanita. Aku salut pada kesopanannya.

"Kau akan kutuntut kalau asetku tidak bisa berdiri tegak." Pete mengancamku dengan wajah jenaka sebelum sosoknya menghilang dari balik pintu kamar mandi lagi.

"Karena bantal? Itu membuktikan kalau asetmu sudah tidak berguna sejak lahir."

"Dammit, Ava!"

Aku tertawa puas, akhirnya. Sudah lama aku tidak merasa selega ini saat tertawa, seperti ada satu dan banyak beban yang diangkat dari pundakku. Kurasa aku perlu sering-sering menemui Pete. Berada di sekitar Alby jelas membuatku stres dan tertekan. Ah, tapi aku menyukainya.

Pete menghabiskan waktu lebih lama dariku untuk mempersiapkan diri. Dia bilang ingin terlihat bagus agar mampu menarik perhatian para perempuan yang menghadiri acara Hyunjoo. Kubilang kalau semua undangan akan membawa plus one mereka, lalu dia merengut. Dan itu sangat tidak cocok untuk wajahnya, seperti memakai mantel di musim panas dan berjemur di pantai.

Heart to Break [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang