31 - Stuck in My Head

907 111 7
                                    

"Pete, sepertinya aku harus pulang di Natal tahun ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Pete, sepertinya aku harus pulang di Natal tahun ini."

Waktu itu aku mengatakannya pada Pete, ketika memandangi salju yang berjatuhan di halaman belakang melalui jendela dapur. Dua gelas cokelat panas tersaji di antara kami, dengan uap yang mengudara dan aroma yang manis. Aku ingin segera meminumnya, tetapi masih terlalu panas.

Takada yang kami lakukan saat itu, sempat terencana ingin pergi, tetapi hujan salju pertama musim dingin menggagalkannya. Daripada mengambil risiko hujan yang berubah menjadi badai di tengah perjalanan.

"Aku sudah memintamu melakukannya sejak tiga tahun lalu," sahut Pete sambil meraih gelas cokelat panasnya. Dia tidak meminumnya, hanya memegangnya untuk menghangatkan tangan.

"Ini keputusan yang sangat berat, tahu." Aku menjatuhkan kepala ke atas meja tanpa memperkirakan pendaratannya. Aku diam dengan posisi ini selama beberapa saat ketika mulai terasa nyeri di dahi.

"Bukankah kau merindukan Nate?"

Pete tahu titik terlemahku. Ketika namanya disebutkan, aku makin dibuat sadar kalau seharusnya aku pulang. Aku benci orangtuanya, tetapi itu tidak mengurungkanku untuk menemui Nate. Berhubungan lewat telepon dan seperangkat alat komunikasi lainnya tentu saja tidak cukup untuk melepas rindu.

"Baiklah, aku pulang untuk Nate."

Tekadku untuk pulang makin kuat. Sebulan setelahnya, aku sudah menemukan diriku sedang mengemas barang-barang yang akan dibawa pulang. Tidak banyak, satu tas punggung saja sudah cukup untuk memuat semuanya. Aku hanya membawa apa yang kuperlukan untuk tiga hari di sana.

Sebenarnya, tiga hari terlalu lama untuk melihat Dad.

Ayah Pete mengantarkanku ke stasiun, sekaligus dia berangkat kerja. Padahal aku merepotkannya, tetapi pria ini baik sekali sampai menitipkan bingkisan untuk orang-orang rumah. Aku terlalu banyak mengucapkan terima kasih sampai dia memutuskan cepat-cepat pergi. Berpisah dengannya di stasiun terasa seperti baru saja diantarkan seorang ayah ke sekolah. Aku lupa seperti apa, tetapi dia memang terasa seperti ayah untukku.

Aku tiba di depan rumah setelah menempuh satu perjalanan kereta api dilanjutkan dengan naik taksi. Napasku berembus dan menguap di udara. Dulu yang kurasakan adalah kehangatan di dalam sana, sekarang justru terasa asing. Bukan karena cat rumahnya berubah, tetapi, ya, aku tidak merasakan rasanya pulang.

Aku menekan bel sampai tiga kali. Pikirkan saja, di rumah sendiri pun aku harus memberi tanda-tanda kedatanganku. Walau sebenarnya, aku tidak memberi tahu siapa pun kalau akan datang. Namun, takada yang membuka pintu dari dalam.

Aku menarik gagang pintu, mencoba membukanya sendiri dan terkunci. Ya, bukan salah mereka tidak ada di rumah saat aku datang. Aku saja tidak memberi tahu mereka. Aku menghampiri kursi panjang yang ada di depan jendela samping pintu. Lalu duduk di sana karena lelah terus-terusan berdiri, apalagi dengan tas seberat ini.

Heart to Break [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang