107 - [Alby] Everything for You

543 90 18
                                    

"Aku benar-benar tidak mengerti apa yang ada di kepala besarmu itu. Pantas saja aku tidak bisa menghubunginya dan pesanku tidak pernah dibalas."

Dia tidak berhenti mondar-mandir di depanku. Ketukan haknya di lantai benar-benar sangat mengganggu, kekacauan di kepalaku makin menjadi-jadi. Aku ingin sekali mencabutnya dan melemparkannya ke luar jendela. Sayangnya, aku sedang tidak berada di situasi di mana aku bisa menegurnya. Yang ada, dia akan menyerang balik dengan beragam umpatan.

"Apa Mom pernah membenturkan kepalamu saat masih bayi? Kurasa ada saraf yang rusak di sana. Kau adalah pria paling bodoh yang pernah kutemui."

Aku baru tiba di penthouse dengan tujuan untuk beristirahat, meski aku tidak yakin itu akan terjadi. Orang ini, aku lebih suka menyebutnya begitu daripada menyebutkan bahwa dia adalah saudaraku satu-satunya, sudah berada di ruang tamu dengan kaki menyilang. Like a boss girl. Beragam dugaan yang mendasari keberadaannya di sini mulai memenuhi kepalaku dan tidak satu pun terdengar bagus.

Kepulanganku yang tanpa kabar dan terlalu tiba-tiba membuat beberapa pertemuan dibatalkan. Hari ini seharusnya aku melakukan presentasi rencana penawaran kerja sama ke sebuah perusahaan grafis, bukan malah berkeliling New York dalam keadaan mabuk dan memecahkan kaca lampu depan mobilku karena menabrak pagar rumah Jeffrey. Paula datang untuk mewakili kemarahan Dad. Namun, aku membuatnya lebih murka setelah kuceritakan apa yang terjadi hari ini sekaligus penyebab berakhirnya hubungan kami. Setidaknya, saat ini aku sudah cukup sadar untuk menghadapi kemarahan Paula.

Sofa yang kududuki ini tidak lagi terasa nyaman. Aku juga harus menghirup emosi Paula yang mengudara dan itu benar-benar menyiksa. Rasa bersalah yang besar mencekikku.

"Kau tega melakukan itu pada seorang yatim piatu, Alby? Dan sekarang dia kehilangan Nate, yang juga salah satu pegawai terbaik kita." Paula berdecak keras, tetapi akhirnya sepatu runcing itu berhenti bergerak. "Seharusnya kau di sana untuk membuatnya merasa tenang, membuatnya percaya kalau masih ada rumah yang lain untuk dia pulang. Apa kau sudah bertemu dengannya?"

"Dia bersama mantan kekasihnya." Kepalaku berdenyut pada pemikiran itu. "Dia tidak membiarkan aku bertemu dengannya. Dan Ava juga tidak ingin bertemu denganku, sepertinya. Tadi dia sempat meneleponku, tapi setelah mendengar suaraku, sambungannya dimatikan. Pesanku juga hanya dibaca. Aku mencoba lagi dan ... tidak tersambung. Dia memblokirku lagi."

"Kalau aku jadi Ava, tentu aku akan melakukan hal yang sama. Kau harus mencicipi buah yang kau tanam."

Kata-kata itu sungguh menjatuhkan harga diriku.

"Kau tahu, aku benar-benar sangat kecewa padamu. Aku sempat mengira seleramu berubah dan meningkat sangat drastis. Aku menyukai Ava, aku senang sekali dia menjadi adikku, dalam hal ini tidak hanya kau yang patah hati, Alby, aku juga." Paula membanting punggungnya ke tiang yang membingkai jendela besar di hadapanku. Suaranya sarat akan rasa frustrasi dan itu membuatku makin membenci diriku sendiri.

Terkadang Paula bisa sangat menyebalkan, tetapi aku tidak pernah merasa tenang jika sesuatu membuatnya kecewa. Aku rela mengambil risiko apa pun untuk membalas siapa pun yang mengganggunya, tetapi ketika orang itu adalah aku, apa yang bisa kulakukan? 

"Dia sangat bagus memakai baju-baju rancanganku, seperti tubuhnya memang ditakdirkan untuk memakainya."

"Semua rancanganmu sangat bagus, siapa pun akan bagus memakainya." 

Aku tahu ini bukan waktu yang tepat untuk sebuah pujian, melainkan sebuah usaha untuk mengalihkannya sedikit dari rasa kecewa. Walau jujur saja, aku juga sependapat dengannya. Kecantikan Ava tidak menonjol, tetapi dia punya sesuatu yang membuatnya makin menarik kalau lama-lama diperhatikan. Kupikir daya tarik itu ada pada matanya. Kulitnya sangat bersih, tidak ada satu pun tahi lalat di punggungnya. Namun, tentu saja bukan fisik yang menjadi alasan aku jatuh cinta padanya.

Heart to Break [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang