73 - A Compliment

822 109 5
                                    

Nate tidak banyak bicara lagi sejak kejadian malam itu. Dia hanya akan bicara seperlunya dan, ya, memang tidak ada yang berubah dari sikapnya, tetapi aku tidak bisa untuk tidak merasa gelisah. Aku tidak tahu apakah dia kesal karena aku tidak menceritakan tentang rencana kepergianku, atau karena aku menolak untuk melibatkannya dalam masalah-masalahku, atau dia masih memerlukan waktu untuk bisa mengerti apa yang kuinginkan--seperti yang kubilang padanya untuk memikirkan tentang itu.

Nate adalah satu-satunya yang kumiliki. Ibuku anak tunggal, Dad punya tiga saudara yang tinggal di belahan bumi yang lain, dan aku tidak tahu apakah ibu Nate punya saudara. Namun, aku tidak pernah bertemu mereka; orang-orang yang disebut memiliki hubungan darah dengan kami. Kupikir tidak berarti apa-apa juga jika kami bertemu. Situasi ini--diamnya Nate--jelas membuatku merasa hampa.

Bisa dibilang, aku cukup beruntung. Hyunjoo sudah kembali ke New York dan mengajakku bertemu. Setidaknya, meski sedang sangat sedih, aku tidak harus terus-terusan memikirkannya. Hyunjoo sukses mengalihkan perhatianku dari berbagai dugaan buruk tentang Nate.

Memiliki Alby sebagai kekasihku juga tidak membantu. Aku tidak bisa dengan leluasa mengadukan apa yang sedang terjadi padaku. Jelas kami bukan pasangan yang normal, dan aku cukup sadar untuk tidak mengambil keuntungan apa-apa darinya. Aku bukan anak remaja labil yang menganggap pasangan adalah tameng pelindung dari anak-anak perundung.

Sekali lagi, terima kasih pada Hyunjoo.

Aku tidak pernah menyadari kalau spa adalah sesuatu yang sangat kubutuhkan. Hyunjoo mengajakku ke tempat ini. Kami bertemu dan baru lima belas menit bicara dia sudah mengeluh kalau aku tampak seperti orang yang penuh tekanan. Jujur saja, aku memang beberapa kali tidak fokus saat mendengarkan cerita liburan bulan madu Hyunjoo dan dia memang cukup peka untuk menyadari itu.

Ruangan ini diisi hanya aku, Hyunjoo, dan dua orang lagi yang diutus untuk memijat sekaligus  menggosokkan scrub di tubuh kami. Kami tengkurap di ranjang khusus pijat menghadap sebuah jendela yang memamerkan bentangan Central Park bagian timur. Seandainya biaya spa cukup terjangkau, mungkin aku akan sering ke tempat ini untuk relaksasi, sebab ini benar-benar sangat nyaman. Rasanya ketegangan-ketegangan yang memenuhi sekujur tubuh ditekan untuk bisa rileks. Ditambah lagi lilin aromaterapi yang dibakar di sini tidak pernah kutemukan aromanya di tempat lain.

Aku melirik Hyunjoo sebentar. Wajahnya tersenyum tipis dengan mata terpejam. Terkadang gumaman keenakan dia keluarkan. Itu membuatku iri dan sempat berpikir kalau pemijatnya melakukannya lebih baik daripada yang memijatku. Padahal kenyataannya aku bukan orang yang akan terang-terangan menunjukkan itu. Pijatan yang kuterima ini mungkin sama enaknya, tetapi tidak untuk dinikmati secara berlebihan. Yang pasti para pemijat di tempat ini melakukannya dengan baik--dan tentu saja semua spa memiliki orang-orang dengan keahlian sesuai jasa yang mereka tawarkan.

Satu sesi pijat dan scrub selesai. Kami diberi waktu dua puluh menit untuk membilas tubuh kemudian dilanjutkan dengan manicure dan pedicure.

"Kau berhutang cerita padaku." Hyunjoo berceletuk ketika tubuh kami masih diguyur oleh air dari pancuran. Kamar mandi ini dirancang untuk beberapa orang dan memiliki sekitar lima pancuran. Dan kami mandi bersebelahan, membiarkan satu sama lain melihat apa yang selama ini tertutupi oleh pakaian.

"Tidak ada masalah besar. Aku hanya sedang overthinking akhir-akhir ini."

"Apa ini karena Alby?" Hyunjoo mulai menggosok tubuhnya, untuk menghilangkan sisa-sisa dari scrub yang menempel di kulit.

"Kenapa kau berpikir karena dia?" Aku ingin membenarkan, tetapi tidak ingin mengatakannya secara gamblang mengingat akhir-akhir ini pikiranku memang dipenuhi olehnya. Sementara masalahku dengan Nate berperan untuk melengkapi kekacauan dalam kepalaku. Satu masalah lagi dan kepala ini rasanya akan meledak.

Heart to Break [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang