100 - After-effect

580 68 3
                                    

"Apa kau akan pulang terlambat malam ini?"

Pertanyaan itu kulontarkan begitu Nate keluar dari kamar. Rambutnya lembap dan berantakan, mata sayu yang nyaris tenggelam oleh kantung mata berusaha menatapku dengan ramah. Setidaknya dia sudah mencuci muka dulu sebelum menemuiku. Pemandangan yang dia suguhkan mengingatkanku pada kebiasaan buruknya; begadang. Namun, yang berbeda adalah begadangnya kali ini menghasilkan uang. Nate bersama tiga orang temannya membuat kelompok dan dibayar seseorang atau sebuah organisasi untuk membuat sebuah sistem informasi. Katanya mengerjakan sistem informasi akan menghasilkan uang banyak, dengan harapan kami bisa segera membayar uang yang dihabiskan Alby untuk membayar utang Dad. 

Sepertinya keberuntungan sedang berada di pihak kami, atau Tuhan sedang memberi kami kesempatan untuk terlepas dari segala sumber masalah. Yah, kupikir ada terlalu banyak masalah yang muncul semenjak aku mengenal Alby, hal-hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya yang merasuk ke dalam hidup dan membuat sistem kendali diri menjadi kacau. Dan aku tentu tidak membiarkan Nate berjuang sendirian. Situs freelance kembali aktif kugunakan. Atas saran Troy waktu itu, aku menaikkan sedikit tarifnya. Kira-kira tidak sampai sepuluh persen.

Sebenarnya aku kasihan pada Nate yang harus bekerja ekstra meski dia yang memaksa. Makin dewasa dia, makin keras kepala pula pada keputusan yang sudah dia ambil, tidak tergoyahkan. Aku tidak mampu memengaruhinya seperti dulu lagi. Nate bukan lagi remaja labil yang mudah terpengaruh oleh gertakan saudara yang lebih tua. Sekarang dia lebih dari sekadar tahu apa yang sedang dia lakukan.

"Sepertinya begitu." Dia menguap sebelum menjatuhkan tubuh di kursi. "Tapi aku lebih perlu tidur, jadi mungkin pulang cepat. Kenapa? Kau perlu sesuatu?"

Kami tidak pernah tidak memikirkan kebutuhan satu sama lain.

"Tidak," kataku sembari membuang ke bak sampah kotak susu yang sudah habis kutuang isinya ke mangkuk dan mengambil yang baru dari lemari. "Aku hanya ingin kau lebih memperhatikan waktu istirahat. Tapi aku lega kau berencana pulang cepat."

Dia hanya mengangguk, sebelah tangannya meraih kotak susu yang baru kuambil tadi, membuka tutupnya, dan menuang isinya ke mangkuk. Pagi ini aku hanya menyiapkan sereal, malas memasak. Tinggal bersama Nate tidak membuatku merasa tertuntut untuk masak ini itu. Jika dia ingin sesuatu, dia akan bertanya bagaimana kalau kita membeli sesuatu dari luar, begitu pula denganku. Kondisi sulit menjadikan kami berdua adalah orang-orang yang akan memakan apa saja yang tersaji di hadapan tanpa mengeluh.

"Bagaimana perasaanmu sekarang?" Dia membuka obrolan setelah beberapa saat berlalu dalam keheningan, hanya suara-suara di kepala yang sibuk berdebat dan tentu persinggungan antara sendok dengan mangkuk.

Aku mengedikkan bahu. Setelah semua yang terjadi, setelah hubunganku dan Alby berakhir, dan setelah pertemuan terakhir kami seminggu lalu, aku belum merasakan yang namanya baik-baik saja. Mengakhirinya dan berpikir hidupku akan kembali seperti sebelum bertemu Alby adalah keinginan yang munafik. Satu masalah tersingkirkan, tetapi masalah yang lain belum benar-benar hilang, begitu yang kupikirkan saat memandang vas bunga di tengah meja makan. Setelah memperkenalkan studio itu padaku, dia terus mengirim bunga, seolah-olah menjadi yang paling mengerti kalau aku akan terenyuh oleh tumbuhan cantik itu. Lima hari pertama, aku terus membuangnya, tetapi di hari keenam aku membeli sebuah vas dan meletakkan bunganya di sana. Setidaknya aku bisa memanfaatkan itu untuk membuat rumah menjadi sedikit lebih cantik.

"Dia seperti terus berada di sekitarku walau di setiap bunga yang dia kirimkan tidak membawa pesan apa-apa."

"Kenapa kau begitu yakin kalau itu darinya?"

Kupandang wajah kusut Nate yang sedang mengunyah sereal. Melihat cara makannya yang seperti orang kelaparan parah membuatku tidak berselera lagi untuk menghabiskan sereal di depanku.

Heart to Break [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang