59 - Deep Talk

849 101 2
                                    

"Aku sudah bilang tidak mau menginap."

Protes itu baru kulayangkan setelah kami berada di kamar yang Alby pesan. Aku ingin melakukannya sejak tadi, tetapi seorang bellboy mengikuti kami demi menuntaskan tugasnya mengantar tamu ke kamar yang disewa. Berkat pekerjaannya yang sempurna, Alby memberi tips besar untuknya.

Sekarang aku memandang pria yang menyandang status sebagai kekasihku itu dengan nyalang. Namun, dia sendiri menatap tirai jendela berwarna cokelat tua, membelakangiku sambil melepas mantelnya. Aku jadi harus berpindah menjadi berada di depannya, menghadang jalannya saat akan meletakkan mantel tersebut.

"Alby." Aku memanggilnya sambil menggeram.

Namun, dia masih tetap tenang dan mengambil jalan samping untuk menyampirkan mantelnya ke sofa. Sekali lagi mengabaikanku.

"Kau akan tahu satu hal lagi tentangku." Sekarang dia berdiri di depanku dan bersedekap. Pembawaannya masih tetap tenang, seolah-olah tidak peka kalau aku sedang marah padanya. "Aku suka mengobrol di balkon. Dan hotel ini memiliki pemandangan yang bagus. Lihat."

Alby berjalan menuju tirai dan membukanya. Kukira itu jendela, tetapi sebuah pintu kaca besar yang menampilkan teras balkon di baliknya. Ada satu meja yang sekaligus merangkap sebagai perapian dan dua sofa yang kelihatannya sangat nyaman. Balkon itu tidak terlalu besar, tetapi cukup untuk dinikmati berdua. Di dekat terali pembatas, ada sebuah meja kosong yang sepertinya disiapkan untuk meletakkan barang-barang kecil yang diperlukan untuk bersantai di sana—camilan, misalnya.

Aku sudah berjalan mendekati pintu, sekadar untuk melihat sungai besar di bawah sana. Warna musim gugur memanjakan mata. Mungkin benar kata Alby, mengobrol sambil menatap pemandangan seindah itu akan menyenangkan.

"Tapi kita tidak menginap, 'kan?"

Alby mencebik. "Ya ... aku akan mengikutimu. Kalau kau mau pulang, kita akan pulang meski sudah malam. Aku tahu kau tidak mau melewatkan pekerjaanmu besok."

Aku mengangguk sekaligus merasa lega. Kurasa makin ke sini, Alby makin pengertian. Atau mungkin hanya berlaku hari ini? Karena dia ingin ini menjadi kencan lanjutan kami?

Takada habisnya menduga-duga kenapa Alby bersikap seperti itu padaku. Daripada berekspektasi dan berakhir kecewa, sebaiknya aku nikmati saja.

"Mantelmu di lepas saja." Di belakangku, Alby meraih bagian bahu dari mantel yang kukenakan dan menurunkannya hingga terlepas dari tubuhku. Aku tidak sadar kalau kamar ini sudah hangat karena masih memakai mantel sejak tadi. Mantelku itu menyusul diletakkannya di tempat di mana miliknya berada.

"Biasanya pemandangan saat malam jauh lebih indah. Apa kau mau istirahat atau mandi dulu?"

Aku memandang keluar pintu sejenak, menenggelamkan diri pada keindahan langit keemasan yang ingin menelan matahari.

"Aku tidak punya baju ganti kalau mandi dan aku suka menikmati senja. Bagaimana kalau kita mengobrol dari sekarang? Hitung-hitung agar pulang tidak terlalu larut."

Alby menatap arlojinya sebentar dan keningnya berkerut. "Aku memesan camilan, seharusnya sebentar lagi datang."

"Tidak masalah. Camilan bisa menyusul."

Tanpa persetujuannya, aku lebih dulu membuka pintu dan keluar. Embusan angin menerbangkan beberapa helai rambutku yang sudah lolos dari ikatan. Dari tempat ini, aku benar-benar disuguhkan oleh pemandangan yang luar biasa menakjubkan. Ini lantai dua belas, mataku dapat menjangkau ibu kota Pennsylvania dan seluruh aktivitasnya. Aku yakin sanggup berada lama-lama di sini.

"Sudah kuduga kau akan menyukainya." Alby datang dan menyampirkan selimut di bahuku. Entah dari mana dia mendapatkannya, tetapi ini bukan selimut dari kasur karena warnanya bukan putih.

Heart to Break [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang