Connection

889 66 2
                                    

"Kami dulu pernah melakukan invasi kepada Konoha."

Kata kata itu terngiang-ngiang di pikiran Shikadai, berulang kali, setiap jarum jam berputar kata kata itu juga seakan diputar kembali di pikirannya, membuatnya tak bisa memejamkan mata dengan tenang.

Shikadai bangun dan berdecak kesal, ia mengacak acak rambutnya cukup kuat lalu menghela napas berat.

Masih tak nyata, ibunya, orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas, melakukan hal semacam pengkhianatan.

Mengerikan.

Shikadai turun dari ranjangnya, memutuskan untuk turun ke dapur. Segelas susu hangat pasti akan membantunya untuk tidur.

Bocah lelaki itu menguncir rambutnya lalu turun ke lantai bawah. Sebelum berbelok ke arah dapur, ia mendengar sayup-sayup suara kedua orangtuanya di teras samping.

Karena penasaran, ia memutuskan untuk sedikit mengintip, betapa terkejutnya ia saat melihat sang ibu sedang menarik kerah baju ayahnya dengan mata basah oleh air mata.

"Memangnya apa yang akan berubah jika kau yang mengatakan kebenarannya ?! Apakah kau bisa menjamin jika Shikadai tak akan mengeluarkan ekspresi seperti tadi ?!"

Shikamaru memeluk istrinya, membawanya ke sebuah dekapan hangat, berusaha meringankan emosinya yang sedang meluap luap.

"Aku jahat, Shika, aku adalah penjahat, aku seharusnya ada di penjara, bukannya disini."

Pria itu hanya menepuk nepuk surai pirang Temari, mencoba menenangkannya "Kau tidak bersalah Temari."

Temari meremas kaus suaminya kuat kuat, berusaha menahan isakan yang hampir keluar "Tidak ! Ini salah ... Tidak seharusnya aku disini, tidak seharusnya aku menikmati hari tenang di desa yang hampir kuhancurkan, tidak seharusnya aku menikah dengan lelaki desa ini, tidak seharusnya Shikadai ...,"

Shikadai mengeratkan genggamannya, ia menatap punggung ibunya dengan tatapan terluka.

'Apakah Okaa - san menyesal telah melahirkanku ?' pikirnya.

"Baiklah, kalau begitu marimkita selesaikan masalah ini," Temari menatap suaminya yang akhirnya membuka suara "Kau bilang kau menyesal bukan ? Kalau kau menyesal dengan pernikahan kita, mari bercerai, jika kau menyesali Shikadai, maka biarkan dia bersamaku, marga Nara akan tetap jadi miliknya dan--"

"TIDAK ! Tidak sedetikpun aku menyesali semuanya, apalagi Shikadai ... Dia ... Dia adalah anugrah terindah bagiku, dia ...," Temari menatap manik coklat suaminya dengan kilatan terluka.

Ini aneh

Padahal, ia sendiri yang mengatakan semua itu, tapi ia sendiri yang terluka.

"Karena itu, jangan berkata jika kau menyesal semua ini, Temari." Shikamaru menyeka air mata istrinya lalu menggesekkan kedua hidung mereka.

Temari menunduk, menyembunyikan rona merah dan senyuman tipisnya "Kau tahu ? Kehidupan ini begitu indah, hari hari yang dilewati ini ... Aku bahkan takut memimpikannya dulu, Aku juga sangat senang saat bersama Dai,"

Shikadai tertegun, genggamannya melonggar saat mendengar nama itu keluar dari bibir ibunya.

Dai

Namanya saat masih kecil.

Karena nama depannya dan ayahnya sama, tidak mungkin ia dipanggil 'Shika', akhirnya, ibunya memanggilnya dengan nama 'Dai'

Terdengar manis, harus ia akui.

Sudah lama ia tak mendengar panggilan itu. Shikadai masih ingat, ia sendiri yang ingin ibunya menghentikan panggilan itu dengan alasan bahwa dirinya sudah besar dan tak ingin terlihat seperti anak ibu yang manja.

Our Lovely DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang