4. Menjalin Keakraban

492 30 0
                                    

"Perkenalkan nama saya Alvin Jonatan, panggil saja Alvin. Cukup sekian, terima kasih," ucapnya langsung mengakhiri. Kelas kembali gaduh karena perkenalan singkat seorang Alvin. Lebih tepatnya perkenalan kilat seorang Alvin. Tubuh kurus Alvin tampak tidak menarik minat para siswi. Meskipun tidak sedikit yang mengidolakannya memuji betapa tampan Alvin terlebih saat laki-laki tersebut tersenyum. Kulit pucatnya diidamkan beberapa siswi dan rambut hitamnya menjadi idola baru bagi para siswa.

Selanjutnya karena semua telah selesai memperkenalkan diri, hanya Jofan yang belum maju. Wakil osis lantas memintanya maju untuk memperkenalkan diri seperti yang dilakukan oleh siswa lainnya karena mereka akan menjadi teman belajar satu tahun ke depan.

"Perkenalkan ... namaku ... Jofan," ucapnya tampak menunduk. Semua berbicara dnegan lirih membicarakanncara berbicara Jofan. Setelah melewati perkenalan yang cukup awkward dia akhirnya bisa kembali duduk.

Sesi perkenalan telah selesai dilakukan. Mereka mulai membacakan agenda yang akan dilakukan seharian ini. Mulai dari upacara pembukaan yang dilakukan lima menit lagi, permainan besar di lapangan, materi kebangsaan di kelas, istirahat, dan upacara penutupan. Mereka hanya melakukan PLS selama satu hari. Karena tidak ada budaya menggojlog lagi seperti tahun-tahun sebelumnya. Jadi, kegiatan yang bisa dilakukan hanya ada sedikit.

Mereka berkumpul di lapangan setelah mendapat aba-aba. Berbaris rapi dan bersiap untuk mengikuti upacara pembukaan. Hanya apel sederhana berisi sambutan dari kepala sekolah. Seperti biasa setiap kali acara seperti ini bagian belakang barisan selalu rusuh, dipenuhi bisik-bisik yang terdengar riuh rendah.

Entah apa yang mereka bicarakan, Rio tidak ambil pusing dan berdiri dengan tenang. Di sebelahnya Alvin juga melakukan hal yang sama, berdiri dalam diam. Lain halnya dengan Arghi di sisi Rio lainnya. Dia tampak menengokkan kepala ke segala arah untuk mengobrol dengan siswa kelas lain. Sudah seperti kamera cctv dengan sensor gerak. Tidak bisa diam.

Sesekali Rio mengingatkan agar Arghi tidak terlalu berisik saat membicarakan sesuatu, dia hanya tidak suka diganggu. Mendengar sambutan kepala sekolah saja dia sudah sangat terganggu apalagi suara sumbang Arghi. Tapi, Arghi tetaplah Arghi. Siswa tersebut dengan centil terus aktif mengumbar suara. Sampai dengan gemas Rio mencubit pinggangnya memintanya diam.

"Diam!"

"Aduh, sakit, Yo!" geram Arghi mengelus pinggangnya yang menjadi korban ganasnya cubitan tangan kekar Rio. Rio tidak peduli dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa membuat Arghi cemberut. Menyebalkan. Tapi, Arghi tidak berani berisik lagi takut kena cubit Rio untuk kedua kalinya.

Lengan besar Rio membuat kulit pinggangnya terasa dibintis oleh besi seberat 20 kilogram. Sangat sakit sampai cenat-cenut rasanya. Mungkin warna kulitnya sudah sangat merah atau bahkan darah mengalir dari bekas cubitan. Rio benar-benar memperlakukannya secara kejam. Awas saja, dia akan segera membalasnya, entah kapan tepatnya. Tapi, dia berjanji akan segera membalasnya.

Saat jam istirahat berlangsung mereka dibagikan makan siang oleh para panitia. Jadi, tidak ada yang boleh keluar kelas melainkan tetap di dalam kelas dan menghabiskan makan siang sembari mengobrol bersama. Panitia juga pergi untuk makan siang.

Arghi melongok ke belakang, tempat Rio dan Alvin duduk. Dia tidak terbiasa duduk diam tanpa berbincang apapun. Rasanya mulutnya gatal kalau hanya mengunyah makanan. Ingin mengajak teman sebangku juga terasa canggung. Apalagi teman sebangkunya sudah bermasalah sejak awal, dia tidak mau terpengaruh oleh kenakalan siswa tersebut.

"Yo, minta sambalnya!" pinta Arghi memulai pembicaraan. Meskipun sebelumnya hubungan mereka hanya sebatas 3S (senyum, sapa, salam) di jalan tapi Arghi merasa sudah sangat terbiasa berbicara seenaknya dengan Rio. Rio tipikal orang cuek yang tampak tidak mudah marah. Selalu tersenyum dengan wajah tampannya. Hal itu membuat Arghi dengan nyaman memunculkan sifat seenaknya tersebut.

Bukankah Tuhan tidak adil kepadanya? Lihat tubuh berisi yang kelebihan lemak sedikit di perutnya. Atau pipi tembam dan wajah bulatnya. Rambut sedikit ikal juga tampak membuat penampilannya semakin buruk. Tetapi, lihat penampilan Rio sekarang. Tampak tubuh kekar dengan lengan berotot atau wajah tampan dengan rahang tegasnya. Rambutnya yang hitam lurus semakin membuatnya tampan. Benar-benar tidak adil.

"Nggak boleh," jawab Rio ketus membuat Arghi berdecak.

"Pelit," gumamnya dan bergerak kembali menghadap ke depan.

"Ini ambil aja sambalku, nggak suka pedes," tawar Alvin saat melihat keributan di sebelahnya. Arghi menoleh dengan cepat dan tersenyum kekanakan membuat Rio mencibir saat melihat tingkahnya. Arghi mana peduli. Dia sudah menyomot sambal di kotak nasi Alvin dan meletakkannya di atas nasi miliknya. Sekarang dia dengan seenaknya mendorong kotak nasi Rio, agar memberinya tempat untuk meletakkan kotak nasi miliknya. Berniat makan bersama, berhadapan.

"Geser dong!" ucapnya dengan tingkah bossy. Rio berdecak kesal tapi menarik kotak nasinya memberi sedikit tempat untuk Arghi. Sejak detik itu Arghi mulai menyerocos tanpa peduli didengar atau tidak.

"Wajah kalian kelihatan mirip," komentar Arghi di sela-sela mengunyah ayam. Arghi memutar bola matanya tidak mau menanggapi makhluk di hadapannya. Sedangkan Alvin terkekeh mendengar itu. Komentar yang dulu juga ia dengar dari teman sekelas mereka di taman kanak-kanak.

Memang pada beberapa momen wajahnya bisa menjadi mirip dengan Rio. Entah bagaimana mungkin wajah seseorang bisa saling mirip padahal tanpa ikatan darah apalagi keduanya sudah lama tidak bertemu. Beberapa orang mengatakan sahabat bisa tampak mirip karena kemana-mana selalu bersama, sedangkan Alvin dan Rio baru dipertemukan hari ini setelah hampir enam tahun berpisah.

"Mirip bagian mana?" tanya Alvin dengan rasa penasarannya. Arghi yang hendak menyantap ayam bagian pahanya berhenti lantas mengetuk-ketuk ayamnya di bibir, berpikir. Dia memandang bolak-balik dua orang di depannya meskipun Rio tanpa akhlak menunduk dan sibuk makan. Oh, dimana akhlak Rio.

"Nggak tahu, tapi perasaan mirip aja gitu. Coba deh lihat sendiri pasti mirip!" ucap Arghi. Alvin memandang Rio yang sekarang mendongak dengan wajah polosnya. Dia sudah akan menyuap nasi saat dirasa dua orang ini tengah melototinya. Membuatnya merasa tidak nyaman.

"Apa?" tanya Rio meletakkan nasinya dan menatap Alvin yang menatapnya dengan tatapan kelewat serius.

"Kita mirip bagian mana sih, Yo?" tanya Alvin sungguh penasaran. Dia hanya ingin tahu bagian mana yang membuatnya tampak mirip dengan sang sahabat. Rio mengedikkan bahu tak acuh. Malas berpikir tentang kemiripan mereka yang sering dibicarakan orang. Biarkan saja mereka mirip, toh kenyataannya tidak mirip. Mungkin level ketampanannya sajayang sama sehingga dikatakan mirip untuk menggambarkan level tampan. Sederhana sekali.

"Nggak tahu, buat apa dipikirin sih?" ujar Rio cuek. Dia hanya tidak ada ide bagian mana yang mirip. Mungkin hanya presepsi beberapa orang yang baru melihatnya, itu saja. Wajah beberapa orang menganggapnya mirip dengan orang lain karena scan otak orang yang berbeda-beda menerjemahkan bentuk wajah orang yang dilihat. Bisa saja dia dilihat seseorang mirip dengan Justin Bieber, meskipun sampai sekarang belum ada yang mengatakan demikian. Tapi, masih ada kemungkinan hal tersebut terjadi.

 Tapi, masih ada kemungkinan hal tersebut terjadi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
QuerenciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang