Pagi ini, Rio terbangun terkejut karena Alvin kejang di ranjangnya. Dia segera memanggil dokter. Membiarkan mereka memeriksa Alvin sementara dia berdiri di luar kamar inap Alvin. Dia sudah menghubungi ayahnya mengatakan Alvin kejang pagi ini. Dia juga menghubungi Jofan sekedar memberi tahu keadaan Alvin.
Dia tidak memiliki nomor tempat sang nenek dirawat jadi, hanya bisa berharap keadaan Alvin segera baik agar neneknya tidak mengkhawatirkan Alvin. Orang tuanya tiba dengan wajah khawatir. Rio hanya menceritakan apa yang pagi ini lihat. Saat mendadak Alvin kejang di tempat tidurnya padahal semalam baik-baik saja.
Dokter keluar dari ruangan Alvin. Rio bisa melihat masker oksigen terpasang di hidung Alvin bahkan beberapa alat medis lain terpasang. Rio meringis melihat itu semua. Bahkan semalam Alvin tidak menggunakan infuse.
"Kamu tungguin Alvin ya!" pesan ayahnya dan pergi bersama bundanya mengikuti dokter. Rio ragu untuk masuk, tetapi pada akhirnya dia melangkah masuk. Duduk di kursi yang ia tempati semalaman.
Perasaannya semalam benar-benar terjadi sekarang. Dia menunduk, harusnya dia mengatakan pada Alvin bahwa semua orang menganggapnya istimewa jadi jangan pernah pergi. Harusnya dia ikut bersikap lembut dan mengatakan pada Alvin untuk bertahan. Harusnya–....
"Biboy," panggilan lirih itu mengejutkan Rio. Rio mendongak melihat Alvin mengerjapkan matanya lemah dan bernapas dengan berat.
Rio tersadar dan segera memanggil suster. Jofan dan Arghi sampai bersamaan dengan sang suster dan dokter yang tadi menggiring kedua orang tuanya ke rungannya. Rio duduk tidak tenang di depan kamar Alvin, berharap Alvin baik-baik saja.
Arghi dan Jofan juga ikut duduk meskipun berjauhan. Mereka bahkan belum sempat melihat Alvin saat pintu itu kembali ditutup oleh seorang suster. Ica dan Ari menatap lewat jendela berharap bisa melihat keadaan Alvin baik-baik saja.
Pintu ruangan dibuka, membuat semua serentak menatap sang dokter yang melangkah keluar diikuti oleh beberapa suster. Dokter tersebut membuka maskernya dan tersenyum ramah. Lantas menjelaskan bahwa Alvin harus lebih banyak istirahat dan tidak boleh memiliki beban pikiran.
Hanya itu yang disampaikan oleh dokter. Rio ingin tahu separah apa sakit Alvin. Tetapi, sepertinya kedua orang tuanya tidak akan memberitahunya. Mereka masuk ke kamar inap Alvin melihat keadaan Alvin.
Rio menatap Arghi yang akan duduk di sofa. Dia putuskan untuk menghampirinya. Hal itu membuat Arghi urung duduk. Jofan yang melihat itu diam saja, tidak tahu harus bagaimana kalau mereka kembali bertengkar.
"Aku mau ngomong berdua sama kamu," ujar Rio. Suaranya lirih terdengar, enggan membuat kedua orang tuanya tahu hal itu.
"Ngomong aja," balas Arghi dan duduk.
"Nggak di sini, di luar," ucap Rio dan berjalan keluar. Arghi mengikutinya. Jofan ingin tahu apa yang akan mereka bicarakan namun, rasanya tidak perlu. Dia bisa bertanya pada Arghi nanti setelah mereka selesai berbicara.
Rio mengajak Arghi ke lapangan rumah sakit. Tempat yang dikatakan sebagai taman di rumah sakit tersebut. Memilih satu kursi dan duduk di sana. Arghi mengembuskan napasnya namun, akhrinya ikut duduk di sebelah Rio.
"Semalem Nana terus minta meluk aku. Dia bilang dia sedih karena harus sendirian. Dia banyak ngeluh tentang sakitnya. Aku nggak bisa berbuat banyak selain ngebiarin dia meluk aku. Bahkan manggil aku Biboy. Satu permintaan yang nggak bisa aku kabulin adalah baikan sama kalian."
Arghi diam mendengar itu. Dia merasa sedih atas cerita singkat dari Rio. Membuatnya sadar kalau selama ini dia jarang berlama-lama menjenguk Alvin. Bahkan tidak sering menginap seperti yang dilakukan Rio. Bahkan dia membuat Jofan kecewa. Sahabat terdekatnya ia kecewakan di malam inagurasi. Itu membuatnya semakin sadar kalau dia memang sahabat yang buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia
Teen FictionBertemu dengan tiga orang sahabat adalah sebuah anugerah. Saat luka-luka yang aku lihat dari diri mereka perlahan mulai sembuh, membuat hatiku menghangat. Aku berguna bagi mereka dan mereka istimewa untukku. Melewati masa remaja bersama dengan berb...