Sore ini mereka sudah bersiap untuk melakukan tour di Jogja. Rio dan Jofan berboncengan sedangkan double A berboncengan dengan motor milik Arghi. Sejak awal memulai perjalanan keduanya sudah mulai adu mulut. Mengomentari penampilan satu sama lain dan barang bawaan masing-masing tiada henti. Bahkan Rio sengaja berjalan lambat di belakang keduanya karena takut mereka tertinggal terlalu jauh. Sungguh perjalanan yang rusuh.
Sementara Jofan duduk tenang di belakang menggandong tas ranselnya. Memandang jalanan yang mereka lewati dengan perasaan senang yang membuncah. Ini kali pertamanya berjalan-jalan bersama orang lain. Rasanya sangat menyenangkan sekaligus mendebarkan.
"Weh fokus!" tegur Rio kepada Arghi yang mengendarai motor makin ugal-ugalan di jalan. Benar-benar keterlaluan. Kalau terus seperti ini yang ada mereka tidak bisa tour sesuai jadwal yang dibuat Rio.
"Ini nih, Nana bawel banget sumpah," adu Arghi dengan wajah kesal. Sementara orang yang dikeluhkan memutar bola matanya dan meniru cara bicara Arghi membuat Jofan yang melihat itu tersenyum geli. Arghi menabok lutut Alvin, tahu kalau remaja cungkring di belakangnya tengah mengejeknya.
"Udah-udah, berantem mulu," lerai Rio segera menengahi.
Ya perjalanan panjang keempat remaja itu dimulai. Meskipun lebih banyak bertengkar tapi Arghi dan Alvin sama-sama saling melengkapi. Saat Arghi mulai tidak fokus mengendarai motor Alvin akan membuat keributan kecil, misalnya mengajak adu mulut. Membuat Arghi tak lagi merasa mengantuk. Arghi juga mengerti Alvin. Dia tidak sekalipun membiarkan Alvin mengendarai motor. Alasannya takut jatuh, padahal alasan sebenarnya karena melihat Alvin sering mimisan di sekolah, Arghi takut fisik Alvin tak sekuat laki-laki normal lainnya. Dia belajar memahami berkat berteman dengan Rio.
Rio dan Jofan juga kompak selama perjalanan. Jofan memang pendiam, begitupun Rio yang akan berbicara seperlunya. Tapi, perjalanan berdua dengan sepeda motor membuat keduanya semakin dekat. Jofan yang pengertian selalu memberi apa yang Rio butuhkan. Air minum salah satunya. Jofan aka memberikan air mineral dengan rutin kepada Rio dan dua orang lainnya. Katakanlah dia sie konsumsi dan perkap. Sedangkan Rio seorang ketua, bendahara, dan sie keamanan. Arghi si tukang lawak yang mencairkan suasana setiap saat, bahkan saat dia sendiri tampak kelelahan. Alvin yang pandai fotografi menjadi sie dekdok. Dia pandai mengambil gambar dengan ponselnya. Membuat kenangan mereka bisa dicetak dan dipajang di rumah masing-masing.
Dari perjalanan selama tiga hari itu, mereka berempat makin menjalin persahabatan yang kian erat. Bagai simpul mati dalam tali-temali pramuka. Tak bisa lepas, kecuali melepaskan sendiri. Salah satunya bisa saja putus, tapi berkat lainnya mereka tetap bisa bertahan.
"Lihat foto Aan! Jelek banget kan?" adu Alvin menunjukkan foto jepretannya.
Mereka berkumpul di rumah Alvin setelah selesai touring selama tiga hari. Di tempat ini mereka akan menginap sehari selanjutnya pulang ke rumah masing-masing. Alvin sedang membuka laptopnya dan menunjukkan hasil jepretannya melalui layar laptop agar lebih puas melihatnya.
Rio sudah tertawa terbahak-bahak melihat pose alay dari Arghi. Jofan juga tertawa setelah meneguk habis air minumnya. Untungnya dia bisa menelan air minumnya lebih dulu sebelum menyemburkan gelak tawanya. Yang diejek sudah mempoutkan bibirnya.
"Itu mah tukang fotonya aja kurang andal waktu ambil angel!" protes Arghi tidak mau diejek jelek.
Alvin ini selama tiga hari tak henti-henti membuat darahnya mendidih. Bahkan ubun-ubunnya masih terasa panas belum dingin, sekarang dipanasi lagi. Si gila satu ini sungguh sangat meresahkan.
"Mana ada! Nih ya, kalau udah cakep mah gaya foto apapun dan dari sudut pandang manapun hasilnya cakep. Lah ini! Sudut pandang udah bagus, cahaya juga udah cucok tetep aja tuh hasilnya jelek. Karena emang mukanya yang jelek," seloroh Alvin.
Rio sudah tidak tahan lagi. Perutnya keram karena terlalu banyak tertawa. Dia sampai meneteskan air mata karena melihat pertengkaran dua orang gila di hadapannya. Jofan mengelus-elus bahu Rio mencoba menenangkan Rio yang tidak bisa berhenti tertawa.
Arghi sudah main tabok-tabokan bersama Alvin. Saling memukul tidak mau mengalah satu sama lain. Sampai nenek Anti yang sudah siap tidur keluar kamar. Terkejut karena mendengar suara benda ditepuk berkali-kali. Takut kalau mereka bertengkar.
"Eh, nek belum tidur?" tanya Arghi terkejut melihat nenek Alvin keluar dari kamar. Nenek Anti tersenyum saja dan selanjutnya duduk di dekat mereka. Melihat apa yang tengah para remaja itu lakukan di tengah malam.
"Ini nek lihat! Aan ganteng nggak?" tanya Arghi dengan wajah percaya diri. Dia memperlihatkan gambar wajahnya di layar laptop. Membuat nenek Anti tersenyum dan mengangguk saja.
"Ganteng kok, kan laki-laki," jawab nenek Anti dengan polos. Rio sudah mengusap matanya yang berkaca-kaca mendengar jawaban tersebut.
"Tuh dengerin! Artinya semua laki-laki itu ganteng. Bukan cuma kamu yang ganteng!" tegas Alvin dan langsung dicibir Arghi. Nenek dan cucu sama-sama savage. Benar-benar sulit.
"Udah tidur cepetan. Udah tengah malam lho ini. Lanjut besok lagi," nasihat nenek Anti pada keempat remaja yang baru sampai di rumahnya tadi sore. Serempak keempatnya mengangguk dengan patuh.
Alvin mematikan laptopnya dan menggelar tikar beserta kasur lantai di ruang tengah. Mereka akan tidur di ruang tengah bersama-sama. Kalau tidur di kamarnya, tidak akan muat. Apalagi kamarnya menggunakan dipan. Bisa-bisa saling tendang dan berakhir dengan kecelakaan di tengah mimpi.
"Selamat tidur, besti!" sorak Arghi penuh semangat. Rio geleng-geleng kepala mendengarnya sedangkan Jofan menjawabnya tak kalah heboh. Alvin memukul kaki Arghi, memperingati Arghi agar berhenti berbuat onar. Bisa-bisa besok pagi dia kena omel warga sekitar yang terganggu jam tidur mereka oleh suara sumbang Arghi.
"Kapan-kapan kita jalan-jalan ke luar kota. Naik mobil, terus Rio yang nyetir," ujar Arghi mendadak berkhayal. Mereka belum tidur tentu saja. Lebih memilih berbicara dengan suara lirih di tengah kegelapan ruang tengah rumah Alvin.
"Iya, setelah ulangan kenaikan kelas, kita bisa jalan-jalan lagi. Nabungnya harus lebih serius," bisik Jofan menanggapi. Dia tidur paling ujung di dekat Arghi. Sementara Alvin tidur di antara Arghi dan Rio. Mereka kompak menatap langit-langit rumah Alvin. Memperlihatkan atap genting berwarna kemerahan yang tampak masih awet dan kokoh.
"Di jalan jangan sedikit-sedikit ke kamar mandi. Ribet," sindir Rio membuat Arghi meringis. Dia terus mencari pom bensin agar bisa buang hajat. Perutnya selalu tidak bisa diajak kompromi. Bahkan di rumah sekalipun dia sangat sering bolak-balik ke kamar mandi.
"Iya, iya, besok mau diet biar nggak buang lemak tiap saat," sahut Arghi dengan suara tak kalah lirih. Rio tersenyum mendengarnya.
Mereka sama-sama senang memiliki pengalaman bersama. Seperti mengikat persahabatan secara tidak langsung. Setiap jalan yang mereka lalui sangat penuh akan kenangan. Berharap suatu saat nanti setelah mereka lulus dan berkeluarga masing-masing mereka bisa kembali reuni dan touring bersama. Mengisahkan kisah yang mereka lalui bersama di kemudian hari bersama anak cucu mereka. Membayangkan itu semua membuat mereka kompak mengembangkan senyum.
Hingga tanpa sadar, mereka jatuh dalam buaian mimpi. Mengistirahatkan tubuh dalam balutan kegelapan malam. Menetralkan kembali pikiran mereka yang kemungkinan masih sibuk berkelana menjelajah kenangan yang baru saja terukir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia
Teen FictionBertemu dengan tiga orang sahabat adalah sebuah anugerah. Saat luka-luka yang aku lihat dari diri mereka perlahan mulai sembuh, membuat hatiku menghangat. Aku berguna bagi mereka dan mereka istimewa untukku. Melewati masa remaja bersama dengan berb...