"Huh!" pekiknya dan berdiri menjauh dari guyuran Rio. Rio menatap bengis pada Jofan, tak memberi ampun pada sang pengganggu. Jofan menatap tidak percaya pada Rio. Ini seperti bukan Rio.
Mendadak gelak tawa segera memenuhi kantin yang penuh sesak. Sayup-sayup Jofan mendengar makian tertuju kepadanya dan memuji sikap Rio yang memperlakukannya dengan kejam. Jofan menunduk merasa malu sekaligus sakit hati. Kilasan balik tentang dirinya yang mendapat pembullyan membuatnya linglung. Dia goyah. Hampir saja jatuh limbung ke lantai kalau saja tidak segera ditopang seseorang.
"Fuck!" seruan di sebelah Jofan membuat remaja itu tersentak kaget. Memandang terkejut pada sosok di sebelahnya.
Entah sejak kapan Arghi ada di kantin, apakah remaja itu melihat semua adegan sampai berseru sekasar itu di tengah keramaian? Dia mendorong Rio sampai pemuda itu mundur beberapa langkah. Lantas tanpa aba-aba menghantam wajah Rio membuat rekan Rio segera menghalangi Arghi untuk berbuat lebih jauh lagi. Rio bergerak meringsek untuk membalas Arghi namun, dihentikan rekan-rekannya.
"Sialan!" umpat Rio masih berusaha menyerbu Arghi yang juga meringsek maju hendak memberinya serangan lagi. Suasana memanas. Semua berpihak pada Rio. Menatap tak suka pada Arghi dan Jofan atau bahkan Sila yang tampak berlari menarik Arghi. Meminta laki-laki itu tak berulah lagi.
"Apa!"
Galak Rio saat matanya terus ditatap bengis oleh Arghi. Apalagi sudut matanya melihat Sila yang ada di sebelah Arghi, membuat emosinya kian memuncak. Dia tidak lagi berontak, berdiri diam dengan menatap tajam pada Jofan.
"Pergi sekarang, jauh-jauh dari pandanganku!"
Jofan menatap Rio masih syok atas perlakuan Rio kepadanya beberapa menit lalu. Jofan segera menurunkan pandangannya dengan napas putus-putus. Bukan. Bukan. Ini bukan Rio. Ini pasti seorang pembully di SMP-nya dulu.
"Pergi aja, dasar teman sampah!"
"Iya, nggak tahu malu banget!"
"Gaya banget, dasar banci! Jauh-jauh dari Rio. Mana mungkin Rio mau sama banci kaleng."
"Dia itu gay, makanya selalu mepetin Rio."
"Jijik banget lihat mukanya. Gay sialan!"
Arghi tidak bisa memahan diri untuk tenang setelah mendengar segala bentuk kata ejekan dari siswi yang saat itu makan di kantin. Matanya menatap Jofan yang berdiri diam dengan kepala basah dan wajah sembab. Lantas menarik tangan remaja itu agar segera menjauh dari tempat setan yang seenaknya mengatai Jofan.
"Bagus deh langsung pergi, bikin sakit mata aja!"
Seruan semacam itu mengiringi kepergian Arghi dan Jofan. Rio mengatur napasnya, kemudian menjatuhkan diri pada kursi kantin. Rekannya membeli minuman untuk Rio sebagai ganti es teh yang sudah Rio tumpahkan. Beberapa mengelap meja kantin bahkan mengembalikan mangkuk bakso yang belum tersentuh.
"Aku mau ke kelas aja," ujar Rio saat mereka mendorong nasi goreng milik Rio. Rio sudah tak memiliki nafsu makan.
"Ya udah, hati-hati," ujar Anton yang diangguki Rio. Dia melangkah pergi diiringi bisik-bisik yang mengatakan betapa Rio merasa jijik bertemu Jofan. Atau melebihkan luka bogem di tulang pipi Rio.
Rio masuk ke dalam kelas, memilih duduk diam di dalam kelas tersebut dan memejamkan matanya. Pikirannya segera kembali ke kejadian beberapa menit lalu sampai kemudian terus memutar ingatannya tentang wajah Jofan. Itu bukan salahnya. Begitu pikiran tentang pembelaan dari isi hatinya.
Salah Jofan yang memilih terus mengganggunya. Dia bahkan memasuki batas yang sudah Rio buat atas nama Alvin. Dia benci itu, saat sakit Alvin dibawa-bawa dan digunakan sebagai alasan untuk mendekatinya.
Ingatkan mereka tentang kesalahan mereka sendiri. Arghi yang tanpa nurani mengambil apa yang Rio ingin dan Jofan yang mendadak pikun dengan terus berteman bersama Arghi. Dia pikir kebaikannya selama ini kepada Jofan cukup untuk membuat remaja kecil itu tahu pihak mana yang harus didukung. Nyatanya Jofan malah ada di samping Arghi disaat dia terluka. Bukan malah berdiri di sebelahnya dan membelanya seperti saat dia membela Jofan atas pembullyian yang diterima Jofan.
Semua kebaikan hati yang dilakukan Rio seketika tak bernilai.
***
"Punya otak tuh dipake!" omel Arghi setiba di halaman belakang sekolah. Arghi sudah cukup muak dengan Jofan. Mengomelinya tidak membuatnya merasa puas. Tapi, setidaknya dia harus menyadarkan Jofan kalau Rio sosok bajingan yang tidak perlu diharapkan lagi.
Yang diomeli hanya tertunduk sembari menangis sesenggukan. Mentalnya sudah rusak sejak awal, Riolah yang membenahinya, lantas hari ini remaja itu kembali menyetelnya ke setelan awal. Membuat Jofan terpukul dan merasa ketakutan.
Semakin lama, Jofan semakin menangis keras membuat Arghi yang terus mengomelinya segera berhenti. Dirinya sadar ada yang tidak beres dengan Jofan. Menangis sekeras ini hanya karena diguyur es teh adalah hal yang cukup aneh, apalagi Jofan itu laki-laki. Mana ada laki-laki menangis keras hanya karena diguyur.
"Jo..." panggil Arghi sembari mengguncang bahu Jofan. Bahkan Arghi menunduk agar bisa melihat wajah Jofan yang tertunduk dalam dengan kedua bahu yang bergetar hebat. Jofan tetap tak merespon membuat Arghi dengan panik menarik wajah Jofan agar memandangnya.
Mata keduanya beradu. Agrhi meneguk ludahnya saat akhirnya sadar apa yang salah dengan Jofan. Tangan lelaki itu berdarah. Luka cakaran yang sangat banyak membuat darah merembes keluar tanpa bisa dicegah. Pantas saja Jofan menangis sekeras ini.
"Jangan gini, Jo! Bahaya!" omel Arghi dan menarik tangan Jofan agar berhenti saling mencakar tangannya sendiri. Bukannya berhenti, Jofan malah semakin menjadi-jadi.
Jofan mulai meronta meminta dilepaskan dari cengkraman Arghi sampai membuat Arghi kuwalahan. Tidak lama kemudian napas Jofan semakin tidak teratur dengan tangis yang meledak-ledak dan membuat Arghi ketakutan. Arghi panik tentu saja. Siapa yang tidak panik saat harus menghadapi orang yang kehilangan kendali seperti ini?
Kemudian dengan perlahan Jofan mulai tenang tapi selanjutnya remaja itu kehilangan kesadarannya. Arghi sudah mencoba menopang tubuh kecil Jofan, tapi apa daya dirinya tidak sekuat itu untuk menahan tubuh orang lain. Jadi, Jofan jatuh perlahan ke rerumputan halaman belakang sekolah.
"Tolong!" seru Arghi penuh dengan nada panik. Dia menepuk-tepuk pipi Jofan mencoba menyadarkan sahabatnya, tapi tidak ada respon sedikitpun.
Hingga akhirnya seorang tukang kebun datang dengan lari tunggang langgang mendapati salah satu siswa pingsan. Jofan digotong ke uks oleh beberapa orang. Dibaringkan di ranjang uks untuk sementara waktu. Sementara Arghi segera digiring ke ruang bk karena dicurigai sebagai pelaku perundungan.
Arghi belum bisa fokus karena pikirannya terlalu kalut. Berkali-kali guru wali kelasnya menanyakan apakah Arghi merundung Jofan atau tidak. Tapi, sebanyak itu juga Arghi hanya diam kebingungan. Luka yang ia lihat di tangan Jofan sungguh sangat mengerikan. Bagaimana bisa remaja itu tidak panik melihat luka di tangannya hasil dari kuku-kuku jarinya sendiri?
"Rio yang salah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia
Teen FictionBertemu dengan tiga orang sahabat adalah sebuah anugerah. Saat luka-luka yang aku lihat dari diri mereka perlahan mulai sembuh, membuat hatiku menghangat. Aku berguna bagi mereka dan mereka istimewa untukku. Melewati masa remaja bersama dengan berb...