Satu jam sebelum bel pulang sekolah, kelas mereka kedatangan beberapa kakak kelas yang merupakan anggota ekstrakulikuler. Tujuannya adalah hendak mempromosikan ekstrakulikuler di sekolah. Mereka mulai membagikan formulir dan meminta siswa kelas 10 Mipa-2 untuk mengumpulkannya besok.
Setelah itu kelas mereka kosong, menunggu bel pulang sekolah. Beberapa mulai berkemas dan siap pulang, beberapa ada yang memilih main game bersama seperti yang dilakukan Arghi dengan beberapa siswa. Rio sendiri memilih langsung mengisi formulir pendaftaran membuat Alvin tertarik melihatnya.
"Basket?" tanya Alvin. Rio mengangguk dan melipat formulirnya. Dia selesai mengisi dan meletakkannya di laci. Alvin mengamati, "tidak ikut lainnya?" tanya Alvin penasaran. Dia kira orang seperti Rio akan memborong sampai tiga ekskul.
"Nanti akan kupikirkan lagi," jawab Rio. Benar tebakan Alvin. Rio hanya belum menentukan apa yang ingin dia lakukan. Rio mengeluarkan ponselnya dan mulai bergabung bermain game.
"Jofan ikut ekstrakulikuler apa?" tanya Alvin penasaran.
"Entahlah, aku ingin masuk bidang seni lukis. Tapi, belum percaya diri mengikutinya," jawab Jofan dan duduk menghadap Alvin.
"Ey, hanya perlu berangkat dan mengikutinya. Gambaranmu juga bagus. Apa yang perlu dikhawatirkan?" ujar Alvin tidak percaya kalau Jofan terlalu pemalu untuk melakukan sesuatu. Rio menyimak obrolan mereka. Dia sudah tahu Jofan adalah orang yang sangat pemalu.
"Hm, pasti banyak yang lebih jago dari aku kan?" gumam Jofan. Rio meletakkan ponselnya.
"Kalau gitu ikut basket saja, satu kelas hanya beberapa yang jago kan? Kamu bisa ikut," ujar Rio menatap Jofan. Jofan tersentak. Dia tidak menyangka seorang Rio akan mengajaknya berbicara seperti ini. Hari ini sepertinya hari baik untuk berteman dan bisa dekat dengan Rio.
"Ah, kalo itu jelas aku nggak bisa. Aku nggak ada bakat di bidang olahraga," jawab Jofan ragu-ragu.
"Lalu yang kamu prioritaskan kemampuan atau kemauan?" tanya Rio. Jofan menatapnya dengan bingung. Dia juga tidak tahu, "kalau memang soal kemampuan, semua akan merasa belum memiliki kemampuan yang mumpuni. Tapi untuk soal kemauan hanya beberapa yang berani bersungguh-sungguh. Kalau ada kemauan semua bisa memiliki hasil, tapi kalau mengandalkan kemampuan tanpa kemauan sama saja usaha tanpa tujuan," lanjut Rio.
Seperti tersengat listrik, Jofan tersadar. Benar. Dia memiliki kemauan itu, soal kemampuan dia memang tidak percaya diri. Dengan hati tenang dia mulai mengisi formulir dan berterima kasih pada Rio dan Alvin yang baginya sudah sangat membantunya untuk menentukan sebuah pilihan.
"Nggak penting buat aku, nggak usah terima kasih. Itu buat kamu bukan buat orang lain," sahut Rio dan berdiri. Bergabung bersama Arghi di bangku si ketua kelas bermain game online bersama. Alvin tersenyum saja melihat interaksi kedua temannya.
"Rio emang gitu, santai aja dia baik kok orangnya."
Jofan mengangguk, senang mendengar ucapan Alvin. Dia merasa mulai percaya diri untuk bisa berteman dengan Rio dan kedua teman Rio. Sejak pertama dia sudah menebak ketiganya adalah orang yang bisa ia ajak berteman. Meskipun sulit mereka tetaplah orang baik yang akan dekat dengannya.
***
Pagi ini Gilang si ketua kelas meminta semua temannya mengumpulkan formulir pendaftaran. Rio baru berangkat saat Gilang melangkah keluar kelas. Dia langsung meminta Gilang menunggunya sebentar dan berjalan ke bangkunya. Mengambil secarik kertas di laci.
"Pinjem bolpoin, Vin!" ujar Rio. Alvin yang tengah bermain ponsel meresponnya dengan menggeledah isi tasnya. Mencari bolpoin yang hanya ada satu-satunya di tasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia
Teen FictionBertemu dengan tiga orang sahabat adalah sebuah anugerah. Saat luka-luka yang aku lihat dari diri mereka perlahan mulai sembuh, membuat hatiku menghangat. Aku berguna bagi mereka dan mereka istimewa untukku. Melewati masa remaja bersama dengan berb...