Pagi ini Arghi sudah bersiap pergi ke sekolah saat tiba-tiba kunci motornya yang biasa tergantung di dalam garasi enyah entah kemana. Dia berdecak tak juga menemukan kunci motor miliknya. Dia melangkah masuk ke dalam rumah mencoba mencarinya di dalam kamarnya. Miko yang duduk di meja makan masih sibuk sarapan melihat kakaknya kembali masuk. Dia tidak berani menegur kakaknya. Sampai kakaknya pergi keluar rumah dan pergi membuka pagar rumah dia hanya diam, lantas melanjutkan acara sarapannya.
Dia pergi ke tk yang dekat dengan kompleks rumah. Sudah biasa baginya untuk pergi ke sekolah sendiri. Mama dan papanya sibuk bekerja, selalu ada pergi ke kantor sebelum ia bangun dan baru pulang setelah malam datang. Miko bersyukur memiliki kakaknya.
Arghi sendiri masuk pekarangan rumah Rio. Dia akan nebeng Rio seperti kemarin. Motornya tanpa alasan jelas disita oleh orang tuanya seperti biasa. Benar-benar hari yang sial.
Dari luar, Arghi bisa melihat Rio baru saja keluar dari kamarnya. Waktu yang tepat. Dengan senang Arghi mengetuk pintu rumah Rio dan disambut tante Ica. Rio berdecak melihat siapa yang datang ke rumahnya pagi ini. Seperti tidak bosan-bosan Arghi mengacaukan harinya.
"Ayo duduk, Nak Arghi. Sarapan bareng sama Rio," ujar tante Ica baik seperti biasanya. Arghi tersenyum dan ikut duduk di ruang makan bersama keluarga Rio. Dia sudah makan bersama adiknya barusan.
"Arghi sudah sarapan tante," ujarnya saat tante Ica siap mengambil nasi untuk dirinya.
"Ohalah sudah makan, kalau gitu mau jus jambu? Tante baru buat lho," tawar tante Ica berjalan ke dapur mengambil satu teko jus jambu biji dan menuangnya untuk Arghi. Dia juga menuang untuk Rio, Devina, dan sang suami. Mereka sarapan diselingi obrolan random. Arghi juga ikut terlibat dalam obrolan sembari meminum jus jambu biji.
"Nak Arghi mau bawa susu lagi? Masih banyak nih susunya," begitu membereskan meja makan, tante Ica membuka kulkas memperlihatkan susuk kotak yag jumlahnya cukup banyak. Arghi tersenyum senang dan mengangguk. Dia mendapat susu strowberry dan segera ia simpan di sisi tas ranselnya, begitupun dengan Rio. Mereka lantas berpamitan untuk pergi ke sekolah.
"Kenapa nggak berangkat sendiri? Hari ini aku ada latihan basket. Alvin juga minta di jemput," keluh Rio begitu keluar pekarangan rumahnya. Dia bisa dipukul bundanya kalau mengeluh tentang ini tadi di ruang makan. Jadi, Rio menunggu selesai makan dan keluar rumah dahulu, baru mebicarakan hal ini.
"Kunci motornya keselip, nggak keburu kalau nyari," jawab Arghi dengan wajah mengkerut sebal. Dia benar-benar tidak ada ide lain selain membonceng Rio. Dia tidak pernah naik kendaraan umum untuk pergi ke sekolah. Lagipula siap yang tahu kalau ternyata Rio ada rencana menjemput Alvin.
"Ngerepotin dasar," gumam Rio dan memperceat laju motornya. Arghi hanya terkekeh menanggapi itu.
"Emang rumah Alvin di mana?" tanya Arghi penasaran.
"Setelah sekolah," jawab Rio tak berniat menjelaskan secara rinci, Arghi juga hanya manggut-manggut sok paham.
Sesampainya di depan gerbang Rio tidak berjalan memasuki area sekolah. Dia akan menjemput Alvin yang mungkin sudah lama menunggu. Dia meminjam helm Arghi untuk dikenakan Alvin nanti. Arghi mengerahkan helmnya kepada Rio dan membiarkan remaja itu melesat menuju rumah Alvin.
*
Alvin dan Rio tiba tepat sebelum gerbang ditutup. Mereka merasa bersyukur tidak harus terlambat ke sekolah. Lantas berlari terburu-buru masuk ke kelas. Belum ada guru yang masuk, jelas karena bel baru berbunyi saat keduanya duduk di kursi masing-masing.
Rio menatap Jofan yang masih tetap menggunakan hodie. Kali ini warna kuning. Alvin juga heran mengapa Jofan tidak kapok dan tetap keras kepala mengenakan hodienya.
"Jo, hodiemu di lepas. Nanti kena omel lagi lho," ucap Gilang selaku ketua kelas mencoba mengingatkan. Jofan tampak menatap Gilang sejenak dan mengangguk, tapi tidak melepas hodienya membuat beberapa siswi mulai saling berbisik.
"Kita sekelas sama anak nakal, semoga aja nggak mempengaruhi nilai kita."
"Kok bisa sih dia masuk jurusan Mipa, jelas-jelas badung banget. Udah gitu sok deket-deket Rio lagi, parasit banget."
"Kalo aku jadi Rio mah males temenan sama dia."
Bisikan semacam itu terdengar di telinga Rio. Jelas Jofan juga mendengarnya, hanya saja bersikap abai. Alvin menatap Rio seolah meminta untuk menghentikan mereka yang asik mencela Jofan. Rio tidak melakukan apapun, toh Jofan tampak tak terganggu.
Seorang guru masuk ke kelas membuat ocehan mereka berhenti. Sang guru lantas mulai mengabsen siswa di kelas 10 Mipa-2 satu persatu dan melihat satu siswanya menggunakan hodie. Rio mendesah gusar di kursinya melihat lagi-lagi seorang guru mempermasalahkan penggunaan hodie di dalam kelas.
"Jofan Nugraha silahkan dilepas jaketnya, kita akan mulai pelajaran!" perintahnya membuat seisi kelas menatap si pelaku. Jofan diam saja tidak berniat melepas hodienya. Rio mengacungkan tangan, membuat sang guru menaikkan alis.
"Maaf bu, Jofan lagi nggak enak badan. Boleh saya antar ke uks?" tanya Rio membuat seisi kelas menatapnya. Siapa yang percaya kalau Jofan tidak enak badan, pasalnya kemarin juga Jofan diam dan tidak mengatakan bahwa dia tengah sakit. Alvin dan Arghi juga menatap Rio terkejut dengan pernyataan itu.
"Ya sudah silakan!" ketus sang guru. Rio berjalan ke bangku Jofan mengajaknya ke uks. Jofan menurut dan berjalan bersama ke uks.
"Kenapa sih keras kepala? Kan bisa dilepas tuh hodie," ucap Rio benar-benar tak habis pikir dengan pikiran Jofan. Mereka berjalan ke arah perpus bukan ke uks. Bisa bahaya kalau ke uks dan Jofan benar-benar diperiksa.
"Terus kenapa nggak biarin aja aku pake hodie? Kan hodie nggak mempengaruhi pembelajaran. Nggak menghalangi papan tulis atau buku teks," jawab Jofan membuat Rio berhenti melangkah dan menghadapnya.
"Karena aturannya emang gitu Jofan. Mau itu nggak mempengaruhi pembelajaran sekalipun, kalau sudah masuk ke buku tata tertib ya kita harus ikuti," jelas Rio.
Mereka masuk ke perpus dan duduk di bangku paling pojok. Memilih bersantai di perpus yang sepi dan sejuk. Rio mengambil buku secara acak dan menumpuknya menjadikannya sebagai bantalan tidur. Jofan menatap teman sekelasnya.
"Mau tahu kenapa aku pake hodie?" tanya Jofan membuat Rio yang sudah memejamkan mata perlahan kembali membuka matanya. Lantas duduk dengan tegap menatap Jofan yang ada di depannya.
Jofan perlahan melepas hodienya sampai terlepas. Terlihat tangan berkulit kuning langsat itu memiliki banyak luka sayatan. Itu tampak masih basah dan memerah tanda luka itu adalah sebuah luka baru. Rio menatap Jofan tidak mengerti.
"Siapa yang ngelakuin itu?" tanya Rio tidak bisa berkata-kata lagi. Dia tiba-tiba ingat di pertemuannya dengan Jofan saat akhirnya remaja itu mau melepas hodienya. Benar. Rio ingat melihat luka berupa garis-garis di lengan Jofan. Luka itu sudah kering jadi tidak terlalu terlihat. Jadi, tidak ada yang sadar bahwa luka itu sebelumnya berupa sayatan yang memenuhi lengan Jofan.
"Aku," jawab Jofan dan tersenyum memandang lengannya sendiri. Tidak hanya lengan, kaki juga ia sayat. Hanya saja dia menggunakan celana panjang jadi, tidak akan terlihat. Berbeda dengan lengan yang akan terekspos kalau tidak ia tutup menggunakan hodie. Rio menatapnya merasa sedikit syok dengan jawaban itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia
Fiksi RemajaBertemu dengan tiga orang sahabat adalah sebuah anugerah. Saat luka-luka yang aku lihat dari diri mereka perlahan mulai sembuh, membuat hatiku menghangat. Aku berguna bagi mereka dan mereka istimewa untukku. Melewati masa remaja bersama dengan berb...