101. Kembali Bertemu Rio

331 28 0
                                    

Setelah kelulusan hari itu, Rio yang sudah tidak perlu berangkat sekolah, jadi dia bisa seharian di rumah sakit. Memang tidak menemui Alvin, dia hanya duduk di depan ruang inap Alvin. Sesekali akan pergi berjalan-jalan saat tahu Alvin menoleh ke arah pintu. Dia masih belum berani menemui Alvin. Ada banyak kekhawatiran yang Rio pikirkan membuatnya urung menemui Alvin. Terlebih sebuah rasa penyesalan. Dia sadar dia menyakiti Alvin terlalu sering.

Kondisi Alvin sekarang, tidak diperbolehkan keluar kamar inap bahkan dengan kursi roda sekalipun. Itu karena jadwal operasi yang dijadwalkan mengharuskan kondisi terbaik dari Alvin. Jadi, Alvin tidak bisa keluar memastikan apakah Rio di luar atau tidak.

"Nek, Rio di luar ya?" tanya Alvin untuk sekian kalinya. Neneknya selalu menggeleng menjawab pertanyaannya. Entah benar-benar tidak ada atau hanya kebohongan. Alvin tidak bisa memastikannya.

"Kok Arghi sama Jofan nggak main ya?" keluhnya merasa kesepian.

"Kan mereka baru lulus, pasti ngurus berkas buat kuliah. Nanti juga datang kalau sudah nggak sibuk. Kamu harus sabar, Vin. Jangan semua dipikirin begitu, nanti kondisimu menurun lagi," pesan Nenek Anti dan akhirnya hanya bisa diangguki oleh Alvin.

"Nenek mau keluar makan, ya. Nggak apa-apa kan ditinggal sendiri?" tanya Anti yang sejak pagi tadi belum makan. Dia lapar dan ingin makan sekarang. Lagipula di luar ada Rio, dia percaya remaja itu akan menjaga Alvin.

"Iya," jawab Alvin membiarkan neneknya pergi. Dia tidak bisa menahan neneknya untuk tetap menemaninya yang dilanda kesepian ini. Neneknya juga butuh istirahat dan makan.

Sudah satu minggu sejak dia bertemu Rio, dia sangat ingin menemui lelaki itu lagi. Satu tahunnya tidak mungkin bisa ditebus pertemuannya seminggu lalu yang hanya beberapa menit saja. Dia ingin egois dan memaksa Rio menemaninya. Tiga hari lagi jadwal operasinya dilakukan, itupun kalau kondisinya terus stabil. Kalau kembali menurun, maka akan kembali diundur.

"Rio!" panggil Alvin iseng.

Rio di luar terkejut mendengar panggilan dari dalam. Dia melangkah segera mendekati pintu memeriksa kondisi Alvin. Dia mendapat pesan dari nenek Anti untuk menjaga Alvin sebentar. Dari kaca transparan di pintu Rio melihat Alvin, dia tampak baik-baik saja.

"Arghi!"

Ah, rupanya remaja itu hanya iseng memanggil. Jadi, Rio kembali melangkah mundur dan duduk di kursinya. Membiarkan Alvin menyerukan nama Jofan lantas kembali menyerukan namanya. Begitu seterusnya sampai remaja itu terbatuk. Rio berdiri cepat dan mengintip melihat Alvin terbatuk karena terus menyerukan nama tiga orang.

Karena rasa khawatir, Rio akhirnya membuka pintu. Melangkahkan kakinya masuk ke ruang inap yang setahun belakangan tak pernah ia kunjungi. Alvin melebarkan matanya saat matanya melihat sosok Rio.

"Uhuk! Uhuk!"

Batuk menghalangi keinginan Alvin untuk menyerukan nama Rio. Remaja yang kini menuang air minum dan memberikan segelas air minum untuknya. Alvin menerimanya dan meneguknya perlahan, tidak mau tersedak.

Dia menandaskan segelas air putuh dan diam, mengatur napasnya. Dia tidak ingin kembali memakai masker oksigen sepanjang hari. Setengah hati dia mengatur napasnya sampai bibirnya pucat.

Rio mengelus punggung kurus Alvin dengan kaku, mencoba meredakan rasa sesak setelah batuk panjang. Setelah berhasil membuat napasnya normal, Alvin mendongak menatap Rio yang diam saja. Bahkan topi pet yang dikenakan Rio tidak dilepas, membuatnya hanya melihat area hidung dan mulutnya.

"Makasih," ujar Alvin dan tersenyum. Bibir keringnya tidak bisa berhenti tersenyum saat dadanya menghangat mendengar gumaman Rio. Akhirnya setelah satu tahun menunggu, Rio mau berbicara dengannya. 

QuerenciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang