109. Pelukan Alvin

453 38 0
                                    

Kuliah sudah mulai menyita waktu bagi ketiga sahabatnya. Hal itu membuat Alvin tidak bisa mendesak mereka untuk datang mengunjunginya. Kondisinya buruk sejak dua bulan lalu. Dia kembali masuk ke stadium tiga tanda kankernya kembali memburuk. Padahal dia sudah senang saat dokternya mengatakan setelah operasi kemungkinan kankernya akan lenyap.

Namun, penyakitnya begitu menyukainya sampai enggan pergi dari tubuhnya. Dia kasihan dengan sang nenek yang makin lama makin tak terurus. Dia sudah membicarakan kepada yayasan tempat dia melakukan kerja relawan. Meminta mereka tidak lagi memberikan uang untuk pengobatannya dan lebih baik merawat neneknya. Anti menolak keras ide tersebut. Baginya kesehatannya tidak penting.

Pada akhirnya neneknya mau pergi karena semakin menua. Alvin sesekali sendirian di kamarnya. Menikmati setiap sengatan dari penyakitnya yang makin lama kian menguasai tubuhnya. Berkali-kali Alvin menangis sendirian di kamarnya. Dia tidak menyangka kalau mentalnya tak sekuat yang ia kira. Dia ketakutan tanpa adanya seseorang yang menemaninya setiap malam.

Ketiga sahabatnya hanya bisa menemaninya dari pagi sampai sore, sedangkan saat malam dia akan ditemani beberapa orang dari yayasan. Dia tidak bisa meminta mereka lebih banyak, selain menemaninya tidur. Tidak bisa juga mengajak mereka curhat. Baginya membiayai dia saja pasti sudah sangat merepotkan ditambah harus menemaninya apalagi kalau dia dengan tidak tahu diri menceritakan kerisauan hatinya.

"Kenapa nangis? Ada yang sakit?"

Malam ini entah mengapa Rio datang berkunjung setelah dua hari menghilang. Alvin menggeleng, memilih berbaring membelakangi Rio. Enggan menunjukkan kegundahannya.

Rio tidak bisa untuk diam saja melihat Alvin sepertinya tengah memikirkan sesuatu. Bahkan sampai menangis dalam diam seperti tadi. Rio ingin tahu. Jadi, dia menepuk lengan Alvin.

"Kamu bisa cerita sama aku. Malam ini aku nginep. Besok nggak ada kuliah," jelas Rio. Alvin sedikit senang mendengar akhirnya setelah hampir dua bulan berlalu salah satu sahabatnya bisa menemani malamnya. Alvin membalikkan tubuhnya untuk menghadap ke arah Rio duduk.

"Kenapa, hm?" tanya Rio. Alvin senang mendengar suara rendah Rio. Terdengar seperti seorang ayah, kakak, dan sahabat untuknya.

"Nggak apa-apa," jawab Alvin. Dia tidak mau terlalu bermanja pada Rio. Rio tetaplah seorang remaja sepertinya, tidak pantas ia bebani dengan kegundahannya. Pikirannya selalu piln-plan. Dia ingin bersama sahabatnya untuk bercerita tetapi, setelah Rio duduk di depannya dia malah enggan bercerita.

"Tidur aja, udah malem. Di luar hujan," ucap Rio menyarankan. Ini memang baru pukul delapan malam, tetapi udara dingin hujan terasa sampai ke ruangan ini. Lebih baik segera tidur daripada harus menahan dingin.

"Puk-puk kepala aku, Yo!" pinta Alvin. Rio tidak menolak. Awalnya memang terasa aneh saat melakukannya tetapi, lama-lama dia mulai terbiasa dan bisa mengelus-elus kepala Alvin yang berbalut topi wol hangat.

Alvin memejamkan matanya. Sudah lama dia tidak mendapat elusan seperti ini. Biasanya sang nenek yang akan melakukannya. Lagi-lagi dia merasa sedih karena hal itu.

Rio terkejut melihat Alvin kembali meneteskan air matanya. Dia ingin tahu apa yang dipikiran Alvin sampai terus berwajah murung sampai menangis. Bahkan dia ingin dijadikan sandaran untuk Alvin. Dia hanya merasa kasihan. Memikirkan dirinya di posisi Alvin yang seorang diri menahan semua rasa sakit. Dia pasti tidak akan sekuat Alvin.

"Kenapa Tuhan nggak ambil aku saat Dia mengambil mama sama papa? Aku takut sekarang," perlahan Alvin mulai membuka matanya yang memerah dan berlinang air mata. Rio mengelus pipi Alvin berharap remaja itu mendapat ketenangan.

"Kalau Tuhan ngambil aku sekalian hari itu, aku nggak mungkin sakit kayak sekarang, nggak mungkin tidur disini sendirian. Bahkan sekarang aku takut mati sendirian," keluhnya. Rio mendongak saat matanya ikut terasa panas. Suara serak Alvin ditambah isakan lirih Alvin berhasil meremat dadanya sampai dia merasa sakit dan sesak.

QuerenciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang