91. Pinta

276 19 0
                                    

Pagi-pagi sekali Rio sudah datang ke rumah sakit. Hari ini dia ada latihan basket di sekolah, jadi baju yang ia kenakan jersey gelap. Dia tidak lupa kalau hari ini Alvin diperbolehkan pulang. Jadi, dia mampir sejenak sekedar melihat bagaimana kondisi Alvin sekaligus meyakinkan bahwa Alvin memang telah diperbolehkan pulang.

"Nak Rio!"

Rio tersentak kaget saat aksi mengintipnya diintrupsi oleh nenek Anti. Seperti maling yang tertangkap basah, Rio celingukan dan berdiri gugup. Di dalam sana, Alvin mengernyit heran mendengar suara neneknya. Siapa yang tengah berbincang dengan neneknya?

"Em, nek... Rio pamit mau latihan basket," ujar Rio segera berpamitan. Tapi, pada saat menyalami tangan keriput Anti, tangan wanita tua tersebut menggenggamnya kuat. Seolah tidak memperbolehkannya pergi dengan mudah.

Rio memandang heran pada nenek Anti. Yang ditatap mengulas senyum tipisnya, "ada apa, Nek?" tanya Rio dengan gugup. Jelas dia merasa sangat gugup karena kepergok mengintip ruang inap Alvin melalui jendela sekaligus dirinya sudah sangat jarang menemui nenek Anti atau bahkan Alvin.

"Nggak pamitan sama Alvin?" tanya nenek Anti membuat Rio menggigit pipi dalamnya. Rasanya ingin sekali menemui Alvin, tapi egonya segera menolak keinginannya itu dengan dalih Alvin telah menemukan sandaran lain.

"Eh, nanti aku mampir lagi, soalnya udah terlambat," kilah Rio dan akhirnya berhasil pergi. Ada rasa tidak enak saat melihat nenek Anti mengangguk paksa dan melepas tangannya. Mengatakan pesan untuk hati-hati saat mengendarai motor serta mengingatkan janjinya agar datang ke rumah.

Rio tidak yakin. Dia belum bisa sepenuhnya menata pikirannya yang dilanda kecemburuan. Melihat Alvin yang sekarang seperti melihat orang lain. Bukan Alvin yang merupakan sahabatnya, seperti seorang teman yang baru dikenal lantas pergi setelah mendapat teman baru.

Tidak lama berselang, Arghi dan Jofan datang. Mereka sudah siap membantu kepulangan Alvin. Mulai dari membawakan kursi roda untuk Alvin sampai membantu remaja sejawat mereka naik mobil. Meskipun awalnya Alvin menolak duduk di atas kursi roda, tapi akhirnya remaja itu pasrah dan didorong oleh Arghi. Kakinya lemas seperti jelly. Tidak bisa dipaksa melangkah barang satu jengkal.

Bahkan pada saat sampai di rumah, Alvin kembali dipaksa menaiki kursi roda untuk bisa masuk ke salam rumah. Sangat risih diperlakukan seperti orang penyakitan oleh teman sendiri. Meskipun pada kenyataannya dia memanglah seorang yang penyakitan, tapi tetap saja harga dirinya merasa terluka dianggap tak berdaya. Seolah dirinya tidak bisa hidup tanpa belas kasih mereka.

Sampai di kamar, Alvin berbaring nyaman di ranjangnya. Sementara Arghi dan Jofan tengah sibuk menyelesaikan tugas sekolah mereka. Sesekali mereka akan berbincang bersama, meskipun lebih sering diam dalam kegiatan masing-masing. Alvin dilanda bosan karena hanya bisa memandang langit-langit kamarnya, pemandangan lain yang dapat ia lihat hanya dua orang temannya yang sibuk mengerjakan tugas.

"Aku boleh minta tolong nggak sama kalian?" tanya Alvin akhirnya bersuara kembali. Berusaha membunuh sepi dengan mengutarakan pemikirannya sejak lama. Mungkin saja ini membuat mereka muak, tapi dia tidak bisa lagi memendam pintanya.

"Minta tolong apa?" tanya Jofan penasaran. Alvin sudah sangat sering memintanya membeli sesuatu atau bahkan memintanya membelikan pulsa karena tidak bisa keluar rumah dan ingin menghubungi mereka melalui vidio call. Tentu akan dipenuhi selama Jofan mampu.

"Kalian bisa hubungi Rio? Udah lama aku kirim pesan tapi nggak pernah dibalas Rio. Bahkan panggilan aku aja nggak pernah dijawab sama Rio," ujar Alvin dengan wajah cemberut. Arghi sudah memalingkan wajahnya tampak engganuntuk membahas laki-laki egois itu. Lagipula kenapa juga Alvin harus menghubungi Rio? Padahal selama ini dia dan Jofanlah yang ada di samping Alvin. Sementara Rio? Lelaki itu menghilang dan menjadi penunggu di sekolah tanpa peduli dengan Alvin yang sakit keras. Seolah Alvin tidak lagi berguna untuk Rio.

"Em, nanti aku coba tanya dia deh," ujar Jofan tidak tahu harus menjawab apa di tengah situasi yang mendadak canggung. Pasalnya dia juga sudah lama tidak berkirim pesan dengan Rio. Bahkan remaja itu sudah lama keluar dari grup chat mereka.

Jofan melirik Arghi yang tampak sudah tidak nyaman lagi di rumah Alvin. Dia harus bisa membuat Arghi bertahan di rumah ini. Mengalihkan topik adalah ide yang bagus. Dia lantas mulai membicarakan penampilan Arghi minggu lalu saat lomba piano diadakan. Mengatakan betapa keren seorang Arghi saat memakai jas.

"Emang Arghi cocok pakai jas?" tanya Alvin lengkap dengan nada remehnya. Membuat Arghi yang sudah nampak berbunga-bunga dipuji Jofan menjadi cemberut. Alvin ini suka menghancurkan kebahagiaannya. Menyebalkan sekali.

"Ya cocok lah. Noh lihat!" Arghi menunjukkan sebuah foto di ponselnya. Dia tampak berwajah serius saat memainkan piano di acara perlombaan minggu lalu. Foto ini didapatnya dari panitia penyelenggara. Diposting karena dia yang menjadi juara perlombaan.

"Dih dasar tukang sombong," cibir Alvin membuat Arghi hanya bisa mengomel balik. Alvin sendiri yang memaksanya untuk sombong.

Hari semakin sore dan hal itu membuat Alvin mempoutkan bibirnya. Alasannya adalah dia tidak mau mengizinkan mereka untuk pulang. Arghi tahu Alvin enggan ditinggal, apalagi kalau di rumah artinya hanya ada dia dan neneknya. Semakin sedikit orang yang akan datang ke kamarnya.

"Jo, tolong dong kasih tahu Rio, kalau aku udah di rumah," pinta Alvin sebelum keduanya pergi. Arghi berbalik mendengar itu, hanya tidak suka melihat Alvin meminta seperti itu. Ada banyak orang, kenapa harus Rio yang dicari Alvin? Tidak sadarkan Alvin bahwa selama ini yang ada di sisi Alvin hanya dia dan Jofan saja? Rio terlihat seperti seorang pecundang yang pilih-pilih teman.

"Nggak usah, kalau kamu berani bantuin Nana aku nggak akan mau ke sini lagi bahkan kita nggak usah berhubungan lagi," ancam Arghi dengan wajah serius. Jofan yang diancam demikian menjadi bingung. Ia hanya ingin membantu Alvin untuk bertemu Rio, membuat persahabatan ini kembali terjalin. Apa salahnya dengan membiarkan Rio kembali bergabung?

"An..." cicit Jofan mencoba meluluhkannya. Tapi Arghi mana peduli, dia sakit hati dengan permintaan Alvin, seolah dia tidak ada gunanya di sini.

"Kok gitu sih, An?" tanya Alvin tidak setuju dengan ancaman yang diucapkan oleh Arghi. Baginya semua sama, ketiganya begitu berarti untuknya. Kalau satu tidak ada rasanya kurang ramai. Permasalahan sebenarnya hanya ada pada Arghi kan? Remaja berkulit kecoklatan itu selalu saja membuat masalah dengan Rio. Merebut orang yang disukai Rio dan sekarang secara tidak langsung mengatakan kalau Rio datang ke rumah Alvin maka dia memilih menjauh.

"Kenapa? Nggak terima?" tanyanya dengan nada yang ketus. Alvin menatap tajam pada Arghi.

"Jelas aku nggak terima. Semuanya pecah karena kamu kan? Rio jadi kayak gitu gara-gara kamu. Seolah semua yang kamu punya adalah hal paling istimewa. Ingat, Sila bukan gadis baik-baik. Dia beran-...."

"Bacot!"

•••FebriDRF•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••FebriDRF•••

Mulai besok aku putuskan buat publish satu bab perhari. Karena setelah diteliti, banyak banget yang vote di bab terakhir aku publish. Misal hari ini aku publish bab 89 sama 90. Nah votenya nggak imbang antara bab 89 sama 90. 🤣

Jumlah total bab keseluruhan ada 120 bab ya. Jadi sebentar lagi tamat. Jadi, teruntuk pembaca yang terhormat, jangan lupa vote ya.

QuerenciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang