Begitu mendapat pesanannya Arghi berjalan cepat ke kursinya dan duduk dengan napas tersenggal. Rio meliriknya tanpa menegur. Sudah mulai terbiasa dengan tingkah aneh Arghi. Dia lebih memilih menyuap nasi goreng terakhirnya. Sedangkan Alvin masih asik menyantap mie ayamnya sesekali meneguk es teh.
Rio menatapnya dalam diam. Sangat mengerti bahwa Alvin tengah dilanda sensasi rasa pedas akibat sesendok sambal. Rio tidak ingin peduli dan berpura-pura memainkan ponselnua. Itu salah Alvin sendiri yang keras kepala dan tidak mau mendengar ucapannya. Malah menuruti ucapan Jofan. Siapa sebenarnya Jofan sampai-sampai Alvin bisa langsung dekat dengan remaja itu?
"Kamu kenapa, Vin?" tanya Jofan yang baru saja menyelesaikan makan siangnya dan menyadari kepanikan Alvin. Ia menatap Alvin yang kehilangan akal akibat sesendok sambal. Es tehnya bahkan sudah tandah padahal mie ayamnya masih ada setengah mangkuk. Alvin memang terlihat makan dengan lambat. Apalagi ditambah rasa pedas dari sambal yang membuatnya makan semakin lambat.
"Hah, pedes banget," keluhnya dan menyesap sisa-sisa es teh yang ada di gelasnya. Matanya berair bahkan lidahnya sudah terasa kebas. Rio meletakkan ponselnya lantas mendorong gelas es teh miliknya yang masih banyak. Membiarkan Alvin meminumnya, menghilangkan rasa pedas.
"Mau aku beliin minum?" tanya Jofan karena merasa bersalah. Ditambah dengan tatapan tajam Rio membuatnya semakin bersalah. Seolah Rip tengah menuntut pertanggungjawaban atas tindakannya merekomendasikan sambal kepada Alvin.
"Nggak usah, nggak usah. Ini kan udah ada," jawab Alvin sembari meminum es teh milik Rio. Wajahnya merah padam dan hidungnya mulai beringus karena makanan yang rasa pedasnya tak dapat ditoleransi oleh lidahnya sendiri.
Arghi sibuk sendiri menyantap mie ayamnya. Memaksa mie yang masih panas untuk masuk ke dalam mulut karena rasa khawatir akan ditinggal Rio dan lainnya. Dia menambahkan sambal setengah sendok, takut terlalu pedas meskipun kenyataannya dia sangat suka pedas. Melihat Alvin kewalahan membuat nyalinya menciut, takut kalau sambalnya super pedas. Tapi, saat mencoba dengan setengah sendok makan sambal dia masih belum merasakan pedasnya. Tangannya mengambil satu sendok makan sambal dan menambahkannya di mie ayam. Masih kurang pedas jadi dia tambahkan satu sendok lagi dan akhirnya mie ayamnya pedas sesuai seleranya.
Arghi dengan heran menatap Alvin yang berkeringat akibat pedas. Padahal dia sendiri menambahkan dua setengah sendok sambal dan masih merasa baik-baik saja. Dasar lidah lemah.
"Udah jangan dimakan, nanti kepedesan lagi," ucap Rio melihat Alvin hendak menyantap mie ayamnya lagi.
"Sayang kalo nggak dihabisin," sahut Alvin dan menyantap mie ayam meski dengan lidah yang tersiksa.
"Kalo kepedengan jangan dimakan, Vin. Perutmu nanti sakit," ucap Jofan ikut membujuk Alvin agar berhenti menyantap makanan yang menyiksanya. Alvin keras kepala. Melihat Rio mengembuskan napasnya kasar dan tampak tidak mau peduli membuat Arghi ingin ikut membujuk Alvin.
"Kalo mau nggak pedas bisa ditambah kecap, Vin," usulnya disambut tatapan tidak percaya oleh Rio. Ide macam apa yang disampaikan Arghi. Mie ayam ditambah kecap? Yang benar saja. Itu akan sangat tidak enak. Merasa ditatap, Arghi menoleh mendapati Rio menatapnya tidak percaya, "atau ditambah gula," ucapnya dengan ide lain yang membuat Rio menatapnya kali ini dengan tatapan super tajam.
Alvin benar-benar menambahkan kecap dan dengan cepat mengaduknya. Kecap yang terlalu banyak membuat warna mie ayam berubah menjadi kehitaman. Rio dan Jofan memandanginya dengan ngeri. Melihat Alvin tanpa rasa jijik menyantap makanannya dan benar saja air mukanya berubah. Merasa mie ayam pedasnya berubah menjadi mie ayam manis. Dia menyesal telah menambah kecap.
"Jadi nggak pedas kan?" tanya Arghi percaya diri dengan idenya. Padahal sudah jelas dari wajah Alvin yang mengatakan itu adalah ide buruk.
"Kalo gitu kamu yang habisin!"
Rio menarik paksa mangkuk Alvin dan menyerahkannya pada Arghi yang belum menghabiskan mie ayam miliknya. Dia menatap takut-takut pada tampilan mie ayam Alvin lantas nyengir kuda. Menatap Rio mencoba membujuknya agar tidak menyuruhnya untuk menghabiskan mie ayam milik Alvin yang tampilannya sangat ekstrem.
"Cepet habisin! Kalo masih pedes aku ambilin gula!" ujar Rio mendorong mangkuk tersebut menggantikan mangkuk milik Arghi.
"Eh udah aku aja yang ha ..."
Rio mampu menghentikan ucapan Alvin hanya dengan menatapnya. Tampak tidak mau dihentikan untuk meminta Arghi memakan makanan buruk hasil dari ide otak Arghi sendiri. Alvin menutup bibirnya membiarkan Rio melanjutkan aksinya, sedangkan Arghi masih bertahan dengan cengiran tololnya.
"Aku sebenernya suka pedas," cicit Arghi. Dia berharap Rio tidak lagi memaksanya menyantap makanan buruk rupa tersebut. Tapi itu salah, Rio justru menuang sambal tanpa takaran di mangkuk tersebut dan mengaduknya asal.
"Udah pedes, bisa langsung dihabisin!" tegasnya dengan wajah flat. Arghi tertawa garing dan mulai menyantap seujung garpu mie ayam dengan tampilan paling buruk yang pernah ia lihat. Jofan pura-pura tidak melihat dan sibuk menyeruput es teh miliknya. Alvin menatap kasihan pada Arghi, sedangkan Rio tanpa ekspresi melihat air muka Arghi yang berubah masam. Tanda mie ayam itu benar-benar buruk untuk dimakan. Rasanya tidak ada unsur mie ayam, hanya pedas dan manis.
"Pakai dulu otaknya, baru buka mulut. Jangan kebalik," nasihat Rio dan menarik mangkuk tersebut menjauh dari hadapan Arghi. Arghi kembali nyengir kuda merasa bersalah sekaligus senang. Tentu dia senang, Rio tidak benar-benar memintanya menghabiskan makanan aneh itu.
***
Alvin baru saja kembali dari kamar mandi. Perutnya melilit akibat memaksakan diri memakan-makanan pedas beberapa menit yang lalu. Rio duduk di kursinya dan terlihat sabgat sibuk memainkan ponselnya. Saat Alvin duduk di kursinya, Rio hanya menatap sekilas pada Alvin yang tampak sekarat karena diare. Tampaknya Rio masih enggan peduli, salah Alvin yang keras kepala dan tidak mau mendengarkannya. Alvin malah mendengar omongan orang lain.
"Masih sakit, Vin? Ke UKS aja," usul Jofan merasa khawatir pada Alvin yang berwajah pucat dengan keringat membanjiri seluruh wajahnya. Alvin duduk dan meneguk air mineral di mejanya. Dia membelinya tadi setelah makan siang sebagai obat mulut yang masih kepedasan.
"Udah mendingan kok," jawab Alvin dan tersenyum. Dia lantas melirik pada Rio yang sibuk bermain game di ponselnya. Dia jadi tahu alasan Rio mendiamkannya sejak pagi ini adalah karena dia dekat dengan Jofan. Tapi, bukankah wajar dekat dengan teman sekelas? Rio ini terlalu kekanakan.
Rio bahkan tidak merespon sama sekali ucapannya yang meminta antar ke toilet untuk buang hajat. Benar-benar teman laknat. Padahal dia hanya sebentar ke toilet, tapi Rio menolaknya mentah-mentah dengan diam tanpa respon. Tidak berubah sedikitpun. Membuat Alvin hanya bisa mengembuskan napasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia
Подростковая литератураBertemu dengan tiga orang sahabat adalah sebuah anugerah. Saat luka-luka yang aku lihat dari diri mereka perlahan mulai sembuh, membuat hatiku menghangat. Aku berguna bagi mereka dan mereka istimewa untukku. Melewati masa remaja bersama dengan berb...