Pagi-pagi sekali Alvin sudah ada di ruang kelasnya. Bagai baju yang baru di cuci dia duduk dengan lesu di kursinya. Menyandarkan kepala pada meja dan tangan menjuntai di sebelah tubuhnya. Jofan yang berangkat pagi itu dibuat terkejut oleh Alvin. Dia pikir dia yang paling awal berangkat, ternyata sudah ada nyawa lain yang mengisi ruang kelas. Terlebih posisi Alvin yang tampak mengerikan seperti hantu kelaparan itu membuat Jofan bergidik ngeri.
"Lesu banget muka kamu, Na," komentar Jofan dan meletakkan ranselnya. Dia lantas mengambil posisi duduk menghadap pada Alvin. Alvin beranjak menegakkan tubuhnya memandang Jofan dengan wajah berantakannya.
Rambut acak-acakan, mata memerah, serta hidung merah. Seperti habis menangis. Bahkan Alvin tak segan menarik ingusnya masuk ke dalam mencegahnya meler. Jofan meringis mendengar Alvin bergulat dengan ingusnya. Sepertinya tengah flu.
"Lagi sakit, Na?" tanya Jofan. Alvin mengangguk. Dia tengah sakit, sakit parah. Sampai rasanya berputus asa dan ingin mati saja. Memikirkan ke depannya dia akan bagaimana menjalani hidupnya bersama sang penyakit mematikan ini.
"Udah minum obat?" tanya Jofan kembali memancing pembicaraan dengan Alvin. Dia tidak cukup akrab dengan Alvin. Maksudnya dia tidak satu frekuensi dengan Alvin. Padahal awalnya dia dekat dengan Alvin lebih dulu. Tapi, kemudian dia malah menjadi lebih akrab dengan Arghi apalagi dengan Rio.
"Belum, males. Nanti ngantuk," jawab Alvin dan diangguki Jofan. Memang efek samping dari obat flu adalah mengantuk dan tubuh menjadi lemas. Tapi, lebih baik minum obatkan daripada membiarkan sakit semakin parah.
Ruang kelas mulai ramai dengan kehadiran siswa lain. Mereka mulai membicarakan tentang tugas yang ada hari ini. Jofan santai saja karena semalam Rio sudah membagi jawaban di grup. Dia hanya perlu menyalin jawaban Rio pada bukunya sendiri. Sedangkan Alvin tidak memperhatikan sekitar dan pikirannya terus melanglang buana tak terarah.
Arghi datang bersama dengan Rio. Mereka sepertinya berboncengan datang ke sekolah. Sudah bukan hal baru lagi, itu hal yang sering terjadi. Arghi duduk dan segera sibuk dengan ponselnya, sementara Rio memilih duduk memandangi Alvin yang duduk lesu di sebelahnya.
"Begadang, Na?" tanya Rio penasaran dengan alasan yang membuat Alvin selesu ini. Padahal masih pagi tapi sudah sangat lesu seperti seharian belajar saja. Rio yakin Alvin begadang bukan untuk belajar melainkan bermain game di ponselnya.
Alvin menggeleng sebagai jawaban dan menegakkan tubuhnya untuk memandang Rio yang kini malah memicingkan mata curiga. Alvin menoyor kepala Rio menghentikan remaja itu untuk menatapnya penuh rasa curiga. Padahal memang semalaman dia begadang. Tidak bisa tidur barang satu menit pun karena memikirkan bagaimana dia ke depannya.
"Main toyor aja!" omel Rio dengan wajah kesal. Alvin terkekeh mendengar Rio yang mengomel. Salah sendiri, mengganggunya dengan tatapan curiga.
Jam pelajaran pertama sudah akan dimulai, Alvin berusaha fokus memperhatikan materi meski harus menguap berkali-kali. Rio sesekali menyenggol Alvin saat sang guru menatap tajam memperingati pada siapapun siswa yang tidak memperhatikan pelajaran. Bahkan sang guru tak segan memanggil siswa secara acak untuk menjelaskan kembali materi yang diajarkannya. Membuat para siswa kelas 11 Mipa-2 mau tidak mau harus bertahan memperhatikan penjelasan.
"Baik bab 11 kita lanjut besok. Jangan lupa kerjakan latihan soal di halaman 86 dan kumpulkan dengan rapi di meja saya!" ujar sang guru wanita sembari membereskan buku miliknya di atas meja. Para siswa sudah mendesah gusar mendengar lagi-lagi ada pr. Seperti tidak bosan mengoreksi tulisan unik para siswa saja, "itu sebelah Rio! Kalau malam jangan begadang! Awas kalau minggu depan saya lihat kamu nguap di pelajaran saya!"
Alvin yang masih menguap langsung mengatupkan mulutnya. Begitu guru tersebut berlalu keluar kelas semua tertawa melihat ekspresi wajah Alvin yang syok. Mungkin tidak menyangka akan mendapat teguran langsung sepeeti tadi. Arghi yang paling keras tertawa melihat bagaimana wajah linglung Alvin. Sampai-sampai dia memukul meja berkali-kali membuat kelas semakin gaduh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia
Teen FictionBertemu dengan tiga orang sahabat adalah sebuah anugerah. Saat luka-luka yang aku lihat dari diri mereka perlahan mulai sembuh, membuat hatiku menghangat. Aku berguna bagi mereka dan mereka istimewa untukku. Melewati masa remaja bersama dengan berb...