Selesai dengan seleksi basket, Rio dan Anton akan pergi ke angkringan untuk makan malam bersama. Hari sudah malam dan terasa cocok untuk sekedar pergi nongkrong di alun-alun kota. Namun, saat di ruang ganti mendadak Anton membatalkan rencana tersebut dan meminta maaf karena ibunya sudah memintanya segera pulang. Rio tentu tak bisa memaksa dan membiarkan temannya itu pulang lebih dulu.
Dia keluar dari ruang ganti dan berjalan keluar dari gedung sekolahan. Melihat kedua temannya berdiri di dekat gerbang sekolah, sepertinya menunggu dia. Baiklah, Rio merasa bersalah sekarang. Dia lantas memutar otak untuk mengucapkan rasa terima kasihnya serta permintaan maaf karena membuat mereka pulang malam.
"Jo, Ar. Makasih banget nih udah mau nonton. Oh iya sorry ya kalian jadi pulang malam. Apalagi kamu Jo," ucap Rio tidak enak hati.
"Dih, santai aja. Aku kan nebeng kamu, hehehe," ucap Arghi dengan wajah tak berdosanya. Hal tersebut membuat Rio tidak jadi bersungguh-sungguh berterima kasih, dia lantas memutar bola matanya merasa malas harus menghadapi Arghi.
"Iya, Yo ... santai aja, oh iya tadi Alvin juga nonton kok," ujar Jofan memberi tahu. Dia sempat mendapatkan pesan dari Alvin saat pertandingan Anton sedang berlangsung. Alvin menanyakan keberadaannya, namun karena penuh sesak Alvin duduk jauh dari dia dan Arghi. Dari situlah Jofan tahu kalau rupanya Alvin tidak semarah itu dengan Rio dan dia sendiri. Baguslah.
"Terus dia udah balik duluan?" tanya Rio.
"Nggak kok, masih di dalem kayaknya. Emang kamu nggak lihat, Yo?" tanya Jofan. Rio menggeleng dan menatap kembali gedung sekolahnya. Tidak lama kemudian, yang dicari akhirnya menunjukkan batang hidungnya.
"Nah itu itu! Vin!" ucap Arghi sekaligus berseru untuk memanggil Alvin. Alvin menoleh dan mengangkat tangannya seolah menyaut panggilan dari Arghi. Rio mengulas senyum, ingat kalau Alvin rupanya mau menontonnya padahal tengah merajuk kepadanya.
"Eh, ayo ke angkringan!" ajak Arghi mendapatkan ide cemerlang. Dia hari ini sendirian di rumah karena adiknya sejak kemarin ternyata tinggal di rumah sang nenek, sedangkan kedua orang tuanya tengah keluar negeri. Daripada makan di rumah sendirian, lebih baik mengajak makan mereka bersama. Toh belum pernah makan malam bersama dan nongkrong bersama.
"Ayo!" sahut Alvin dan Jofan barengan, sementara Rio hanya mengangguk tak bersuara. Dia masih sibuk memperhatikan Alvin, melihat remaja itu yang masih enggan untuk menatapnya.
"Pulang naik apa?" tanya Rio mengetes apakah Alvin sudah baikan padanya atau belum.
"Motor," jawab Alvin terdengar asal. Ah, masih marah rupanya.
"Eh serius, kamu bisa naik motor, Vin?" tanya Arghi belum percaya. Bukannya meremehkan tetapi, wajah Alvin terlihat seperti seorang anak mami yang tidak pernah mengendarai kendaraan roda dua. Meskipun naik angkot setiap hari tetapi, Arghi tetap merasa tidak yakin Alvin bisa berkendara karena kulit mulusnya yang tampak tidak pernah mengalami kesulitan di jalanan.
"I-ya... ya... bisalah, lumayan, masih belajar juga," jawab Alvin ragu-ragu. Tentu membuat Arghi semakin tidak percaya dengan kemampuan Alvin. Arghi menatapnya remeh membuat remaja berkulit kuning langsat itu tidak terima dan menunjukkan kunci motornya. Rio juga tidak percaya saat melihat Alvin benar-benar naik motor hari ini ke sekolah. Jofan sih biasa saja, toh dia juga tidak bisa mengendarai motor.
"Ok kalau gitu, kamu boncengin Jofan aja, kan pas dua motor. Kasihan dia nggak ada boncengan," ujar Arghi menguji Alvin. Alvin tanpa gentar mengangguk setuju dan pergi melangkahkan kaki menuju ke parkiran. Diikuti oleh ketiganya. Rio mulai mengenakan helmnya dan mengeluarkan motornya, menyalakan mesin motor dan keluar dari parkiran. Namun, tidak juga melaju keluar sekolah, dia masih ada di dekat parkiran untuk melihat Alvin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia
Teen FictionBertemu dengan tiga orang sahabat adalah sebuah anugerah. Saat luka-luka yang aku lihat dari diri mereka perlahan mulai sembuh, membuat hatiku menghangat. Aku berguna bagi mereka dan mereka istimewa untukku. Melewati masa remaja bersama dengan berb...