115. Sahabat Abadi. Memangnya Ada?

357 30 0
                                    

Suasana kamar Alvin sungguh tegang, seperti sebuah arena pergulatan yang sengit. Kamar inapnya senyap, tapi jelas semua terlihat tegang, kecuali Alvin. Remaja itu dengan santai menyalakan televisi lantas mulai menonton acara di televisi. Arghi duduk di sebelah Alvin.

Hari sudah malam. Harusnya Arghi pulang beberapa menit lalu, tapi rasanya sulit membuka suara untuk pamit disaat seperti ini. Dia melirik Rio yang duduk memainkan topinya di lutut lantas melirik Jofan di sebelah Rio yang hanya duduk tertunduk.

Jofan orang baik, hanya saja dia selalu terlibat dalam masalahnya. Itu pasti membuat Jofan merasa buruk. Arghi menyesal telah membuat Jofan terluka seperti itu. Remaja ceria itu kembali kehilangan senyumnya dan itu karenanya.

"Kalian bisa pulang, aku nggak perlu ditemenin. Bukan anak kecil," ujar Alvin merasa jengah karena berada satu ruangan dengan para penipu. Rio mengenakan topinya. Hari ini, dia buntu. Tidak bisa berpikir jernih untuk membujuk Alvin. Sebaiknya memang segera pergi daripada meluapkan rasa bersalahnya di kamar ini.

"Nggak usah ke sini lagi," tambah Alvin pada Rio yang sudah melangkah hendak pergi. Rio menghentikan langkahnya, mendongak tampak mengambil napas.

"Terserah kamu, Vin. Nyatanya semua nggak bisa sebersih yang kamu inginkan," ujar Rio lantas melangkah pergi. Alvin menatap nanar kepergian Rio. Dalam hati dia sudah merasa sedih, sahabatnya memanggilnya dengan namanya, bukan lagi nama julukan yang tiga tahun ini selalu ia dengar.

"Kalian nggak pergi? Pergi aja!" seru Alvin. Emosinya naik hanya karena memikirkan cara Rio memanggilnya. Dia sakit hati, merasa disepelekan oleh Rio. Harusnya dia yang marah, bukan malah Rio yang seenaknya pergi seolah tidak berbuat salah.

"Aku nginep di sini, Na," ujar Jofan lirih.

"Nggak ikut manggil aku Alvin? Udah bukan sahabat lagi kan? Panggil aja Alvin, nggak usah maksain diri," geram Alvin membuat Jofan mendongak menatap sahabatnya yang berurai air mata.

"Jangan samain aku sama Rio. Aku tetep manggil kamu Nana karena kamu istimewa, kamu sahabat aku," terang Jofan. Dia sudah berjalan mendekat. Dadanya ikut sakit melihat Alvin kembali menangis. Rio sungguh keterlaluan. Bukannya memperbaiki malah menciptakan masalah baru.

"Aku keluar bentar, kamu jagain Nana," bisik Arghi. Dia harus mengejar Rio. Remaja sialan itu harus mau bertanggung jawab atas apa yang ia perbuat.

Jofan berdiri menatap Alvin mencoba mencari cara agar Alvin tenang dan tidak perlu lagi memikirkan ucapan Rio. Alvin memalingkan wajahnya menahan isak tangisnya. Dia laki-laki, tidak boleh menangis untuk hal sepele seperti itu. Semakin Alvin menahan tangis, semakin keras suara isakannya. Jofan mengelus punggung sahabatnya merasa khawatir.

"Nggak usah peduliin mereka, Na," lirih Jofan membesarkan hati Alvin.

"Masuk!"

Suara rusuh dari luar membuat Alvin menoleh. Jofan sudah tahu siapa pelakunya. Siapa lagi kalau bukan Arghi dan Rio. Kalau kali ini mereka bertengkar, Jofan hanya perlu memanggil keamanan agar mereka segera ditendang keluar dari kamar ini. Alvin segera mengusap wajahnya, enggan menunjukkan tangisnya di depan dua orang lainnya.

"Lo manggil Nana apa? Dia mikirin itu, berengsek!" seru Arghi membuat Rio yang sudah terdorong masuk memalingkan wajahnya. Dia sadar tadi keterlaluan, tapi dia tidak berpikir akan sebesar itu masalahnya.

"Biarin aja, toh kita udah bukan sahabat lagi kan? Pergi aja, nggak usah susah payah bertahan nemenin aku. Aku bisa sendiri," ujar Alvin. Suaranya serak. Jofan masih setia mengelus punggung Alvin, mencoba membuat remaja itu tenang.

"Inget ini baik-baik, Vin. Kalau kamu cuma mau lihat sisi baik seseorang kamu cetak fotonya aja. Tempel di dinding, biar kamu lihat dia di bagian bagusnya aj–...."

QuerenciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang