"Kak Arghi!"
Dari ruangan yang gelap, seorang bocah laki-laki berusia tujuh tahun melihat kakaknya yang baru saja masuk rumah. Dia muncul di kegelapan, dari ruang televisi. Menghampiri kakaknya yang baru saja pulang. Dia berhambur memeluk kakaknya dan menangis.
"Lepas!" tegas Arghi ketus. Bocah itu melepas pelukannya dan mendongak menatap wajah kakaknya yang tampak sangat galak memandangnya. Arghi berlalu pergi naik ke lantai dua rumahnya. Bocah itu turut mengikuti langkah besar Arghi karena merasa takut.
"Kak... takut!" adu si bocah meminta ikut masuk ke kamar kakaknya sebelum sang kakak benar-benar menutup pintu kamarnya. Arghi memutar bola matanya dan membiarkan bocah yang menjadi adiknya itu ikut masuk ke kamarnya.
Arghi menghidupkam lampu kamarnya membuat ruangan tersebut menjadi terang benderang. Dia melempar ranselnya lantas pergi masuk ke kamar mandi. Membiarkan adiknya duduk di atas kasur dengan wajah yang sendu. Dia merasa sedih karena kakaknya selalu mengabaikannya, membuatnya sendirian di rumahnya yang besar yang entah mengapa selalu terasa hampa.
Arghi keluar setelah cukup lama di dalam kamar mandi. Dengan handuk yang meliliit di pinggangnya dia berjalan menuju lemari dan mencari kaus untuk ia kenakan. Kembali masuk ke kamar mandi dan keluar setelah berpakaian santai. Dia duduk di kursi belajarnya mencoba abai dengan kehadiran bocah lain di kamarnya. Dia mulai membuka buku untuk dibawa besok ke sekolah. Kalau dia menjadwal pagi hari pasti ada saja barang yang terlewat dan tertinggal. Jadi, dia mengakalinya dengan menjadwal sepulang sekolah.
Seusai menjadwal dia beranjak pergi keluar kamar membuat adiknya melompat turun dari ranjangnya dan mengekor layaknya anak ayam. Mereka berjalan menuruni tangga yang gelap karena lampu belum dinyalakan. Melewati lorong menuju dapur yang juga gelap membuat bocah itu merapat ke Arghi ketakutan.
Sampai di dapur Arghi membuka kulkas, mencari bahan makanan yang bisa ia olah. Dia sudah lapar. Tangannya cekatan mengambil empat butir telur, nasi instan, bawang putih cincang, bawang merah, dan beberapa bumbu bubuk. Dia memilih menggunakan teflon dengan ukuran sedang. Memasukkan dua buah nasi instan ke dalam microwafe lantas mulai meracik bumbu nasi goreng.
Menumis bawang merah dan bawang putih cincang sampai kecokelatan lantas memasukkan bawang bombai dan memberi sedikit garam serta lada. Setelah itu dia mengeluarkan nasi yang telah masak dari dalam microwafe. Menambahkan dua bungkus nasi dalam teflon dan mengaduknya dengan lihai. Tangannya mengambil bumbu instan nasi goreng, menuang satu bungkus dan kembali mengaduknya.
Bocah itu berdiri di belakang kakaknya masih merasa takut. Dia tidak berani duduk sendirian di ruang makan yang letaknya berjarak dua meter dari dapur. Ruangan itu masih remang-remang tersorot sedikit lampu dari dapur.
Begitu selesai Arghi membagi nasi goreng dua bagian. Satu piring untuknya satu lainnya untuk adiknya yang tampak berdiri merunduk ketakutan di belakangnya. Setelah selesai dengan nasi goreng kini dia beralih pada empat telur yang akan ia buat sebagai telur dadar dan telur gulung. Bahan lain yang ia tambahkan untuk telur gulung adalah sosis dan keju.
Tidak butuh waktu lama untuk membuat telur dadar tipis sebagai penutup nasi gorengnya dan telur gulung. Dia berjalan ke ruang makan membawa dua piring nasi dengan ukuran yang berbeda. Tentu adiknya tidak bisa menghabiskan satu mangkuk nasi instan.
Adiknya segera mendorong kursi mendekat pada tempat Arghi duduk. Melihat itu Arghi beranjak dan menyalakan lampu ruang makan menyuruhnya segera duduk jauh-jauh darinya. Bocah itu mengerucutkan bibirnya dan kembali mendorong kursi menjauh dari kursi Arghi.
Mereka lantas memulai acara makan malam yang minimalis. Tidak ada obrolan menyenangkan di meja makan seperti yang dilakukan keluarga kebanyakan. Hanya dentingan sendok dan garpu yang menjadi musik latar.. Arghi selesai lebih dulu membuat bocah itu buru-buru mempercepat makannya.
"Kak, tungguin Miko sebentar," pinta Miko melihat kakaknya memasukkan piringnya di alat pencuci piring otomatis. Lantas berjalan hendak pergi meninggalkannya sendiri. Dia tersedak karena terlalu memaksakan diri makan dengan cepat. Arghi yang mendengar batuk-batuk adiknya mengembuskan napasnya. Dia berbalik dan mengambilkan air minum dari dispenser.
"Minum!" titahnya, meletakkan segelas air minum di meja. Miko buru-buru meneguk air tersebut. Meski pada akhirnya kembali tersedak dan terbatuk-batuk karena terburu-buru meneguk air minumnya. Arghi dalam diam menatap bocah yang begitu ketakutan ditinggalnya. Lantas ia duduk dan membiarkan bocah itu makan dengan sedikit tenang.
Diam-diam Arghi memperhatikan Miko yang makan dengan lahap. Mengambil telur gulung dan menjejalkannya ke mulut kecilnya. Mencoba memaksakan diri makan dengan cepat. Dia kembali tersedak membuat Arghi memutar bola matanya kesal.
Tangannya menarik piring telur gulung membuat Miko menatap kakaknya yang duduk di depannya. Dia mengulas senyum meski air matanya menetes karena tersedak. Kemudian melanjutkan makan nasi sampai habis.
"Bawa!" perintah Arghi membuat Miko mengangguk dan membawa piring berisi telur gulung yang masih setengah porsi. Bocah itu mengikutinya ke kamar. Arghi tidak bisa melarangnya dan membiarkannya duduk di karpet sebelah ranjangnya. Arghi berbaring di ranjangnya menutup matanya dengan lengan kanannya dan membiarkan dirinya rileks.
Miko menyantap telur gunlungnya dengan riang. Dia selalu suka masakan kakaknya. Terlihat menarik selain itu rasanya juga enak. Miko menoleh melihat keadaan kakaknya. Ingin menawarkan telur gulung tapi melihat kakaknya memejamkan mata, membuatnya urung. Dia menghabiskan semuanya dan meletakkan piring di nakas.
Kembali duduk di lantai menghadap ranjang kakaknya. Menatapi wajah tampan kakaknya yang selalu ia kagumi. Kakaknya adalah kesatria untuknya yang begitu menawan meski tidak banyak bicara. Miko tersenyum bisa sedekat ini dengan sang kakak.
"Kalau sudah selesai, kembali ke kamarmu!"
Miko cengo mendengarnya. Dia pikir kakaknya sudah tidur dan tidak akan sadar dia masih di kamarnya. Bahkan sekarang mata itu menatap Miko tajam menegaskan kalau Miko harus keluar sekarang juga.
"Miko takut, Kak," cicitnya tidak mau pergi dari kamar hangat kakaknya. Arghi tidak peduli dan kembali menutup matanya. Sampai sebuah suara deru mobil terdengar sayup-sayup. Disusul suara pintu depan yang terbuka dan begitu pintu tertutup suara pedebatan mulai terdengar.
"Naiklah!" ujar Arghi membiarkan adiknya naik ke ranjangnya dan tidur di sebelahnya. Suara itu makin kencang bersahutan enggan mengalah satu sama lain. Arghi mencoba abai dan memejamkan matanya. Miko menatap kakaknya yang memejamkan mata, lantas mengikutinya.
Sampai suara gaduh di luar sana terdengar makin keras bahkan kali ini disertai suara lemparan barang yang menubruk dinding atau lantai menjadi pelengkap. Arghi menyusupkan tangannya pada leher Miko, lantas menarik bocah yang tampak menciut ketakutan untuk mendekat kepadanya. Membiarkannya memeluk tubuhnya dari samping.
"Tidur!" titah Arghi dan diangguki Miko. Mereka akan menjadi sasaran kalau tidak segera tidur. Setidaknya saat kedua orang itu melongok kamarnya mereka berpikir kedua anaknya sudah tidur. Tidak apa mendengar suara pertengkaran mereka, yang penting mereka tidak terlibat.
Miko menutup matanya dan memeluk kakaknya makin erat saat pintu kamar terbuka lebar-lebar. Arghi berbaring tenang dengan mata tertutup berharap dua iblis itu segera menutup kembali kamarnya dan membiarkan dia berbaring tenang bersama adiknya.
"Anak sialan!"
Begitu selesai mengumpat, sang kepala rumah tangga itu menutup keras-keras pintu kamar putranya. Dia kesal melihat dua anak itu sudah tidur berhimpitan padahal jam masih menunjukkan pukul delapan malam. Biasanya mereka akan tidur pukul sembilan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia
Teen FictionBertemu dengan tiga orang sahabat adalah sebuah anugerah. Saat luka-luka yang aku lihat dari diri mereka perlahan mulai sembuh, membuat hatiku menghangat. Aku berguna bagi mereka dan mereka istimewa untukku. Melewati masa remaja bersama dengan berb...