"Sampai kapan kita pura-pura? Aku udah muak," ujar Arghi saat dua bulan berlalu dalam kepura-puraan. Keduanya tengah duduk di kantin rumah sakit untuk makan malam. Arghi akan menginap hari ini, sedangkan Rio dengan terpaksa juga ikut menginap karena keinginan Alvin. Kondisi Alvin semakin memburuk. Tak jarang laki-laki itu harus disuntik obat pereda nyeri karena terus mengerang kesakitan, mengganggu waktu tidurnya.
"Sampai kondisi Nana membaik," jawab Rio sembari menyeruput kopi panasnya. Alvin di kamar bersama Jofan. Dua orang itu tidur. Alvin yang selesai minum obat sedangkan Jofan yang kelelahan setelah dua hari begadang untuk ujian akhirnya ikut tertidur pulas di sofa rumah sakit.
"Oh iya, jangan pernah manggil nama sialan itu, itu cuma berlaku buat sahabat aku aja, sama seperti namamu itu. Dan, jangan sok peduli. Itu buat aku makin muak pura-pura baik tiap hari," ucap Arghi memulai makan malamnya. Rio dia tersenyum culas mendengar itu. Siapa juga yang tidak jijik saat harus mengirim pesan kepada orang yang kita benci. Tapi, itu keinginan Alvin. Kalau Rio di rumah sakit, maka dia harus menghubungi Jofan dan Arghi.
Kalau bisa jujur sesungguhnya maksud Arghi bukan dia ingin kembali bermusuhan dengan Rio. Dia ingin Rio mengakhiri kepura-puraan mereka ini dan memperjelas status mereka. Apakah mereka sudah benar-benar baikan atau tidak usah berbaikan. Berpura-pura membuat Arghi terkadang merasa jengkel pada Rio. Jengkel karena perlakuannya hanya pura-pura saja, tidak sungguhan akrab dengannya. Dia ingin memperjelas semuanya. Sehingga perlakuan yang ia terima dari Rio bukan sekedar pura-pura di depan Alvin.
"Jangan kepedean, itu permintaan Nana," jelas Rio dan ikut menyantap makan malam. Mereka diam-diam makan. Beda meja namun, karena kantin sepi keduanya bisa tetap bercakap-cakap.
"Apa maksud kalian?"
Rio membeku di tempat duduknya. Arghi tak jauh berbeda. Dia sampai menjatuhkan sendok di tangannya. Perlahan Rio menoleh ke arah pintu masuk kantin. Melihat Jofan berdiri di sana, tampak kecewa. Dia segera menelan makanan di mulutnya.
"Em, kita cuma lagi becanda kok Jo," alibi Rio. Dia menyeruput kopinya, melegakan tenggorokannya yang terasa kering. Lantas mendekat pada Jofan yang masih berdiri di tempatnya. Mengabaikan acara makan malamnya yang harus selesai sebelum dia menandaskan makanan di piringnya.
"Selama ini kalian bohong? Kalian berani bohong sama orang yang sekarat?" Jofan menjauh, enggan berdekatan dengan Rio. Dia sungguh tidak percaya kalau selama ini sikap mereka hanya pura-pura. Dia pikir memang semua sudah kembali berjalan normal, rupanya itu hanya permainan mereka berdua. Dia dibohongi selama ini. Rasanya sungguh memuakkan. Dia tak bisa bayangkan bagaimana perasaan Alvin saat tahu dia dibohongi Arghi dan Rio. Sehancur apa perasaan Alvin saat tahu semua ini.
"Bukan gitu, Jo..." ujar Rio berusaha membuat Jofan tidak mengetahui hal yang sebenarnya. Dia takut kalau Jofan menceritakan itu semua kepada Alvin. Dia khawatir kembali menyakiti Alvin.
"Terserah, aku nggak akan ikut campur. Terserah kalian, tapi jangan pernah libatkan aku dalam kebohongan ini."
Setelahnya Jofan sudah melangkah pergi dari kantin. Dia pergi kembali ke kamar inap Alvin dengan perasaan campur aduk. Merasa kecewa, marah, sedih, putus asa. Kalau bisa memilih, dia tidak ingin tahu tentang kebohongan mereka. Karena setidaknya dia tidak perlu berada disituasi yang sulit. Semua kepalsuan itu mendadak membuatnya mengingat beberapa moment mereka mengobrol bersama. Betapa hebat permainan yang keduanya ciptakan, hingga membuat Jofan berkali-kali mengucap syukur karena mereka bisa kembali seperti dulu.
Jofan masuk perlahan. Alvin yang sendirian di kamar segera menoleh ke arah pintu. Tersenyum saat melihat Jofan masuk ke kamar. Jofan juga membalas senyum itu dengan kikuk. Perasaannya mengatakan harus menceritakan hal ini pada Alvin, tetapi sudut hatinya tidak mau menyakiti Alvin. Dia tidak tahu bagaimana Alvin menanggapi kebohongan dua orang yang mendadak akur itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia
Fiksi RemajaBertemu dengan tiga orang sahabat adalah sebuah anugerah. Saat luka-luka yang aku lihat dari diri mereka perlahan mulai sembuh, membuat hatiku menghangat. Aku berguna bagi mereka dan mereka istimewa untukku. Melewati masa remaja bersama dengan berb...