34. Bantuan

428 25 0
                                    

Setelah menyelesaikan makan malamnya, Rio mengantar Alvin pulang ke rumah. Wajah Alvin masih tampak kesal entah karena masalah es teh atau karena masalah Arghi. Rio sudah tidak mau bertanya lagi, membiarkan lelaki itu pulang dengan wajah bersungut marah. Bahkan tidak mengucapkan apapun padanya dan langsung masuk ke dalam rumah. Seperti seorang gadis saja.

Rio memutar balik motornya dan keluar gang untuk pergi ke salah satu gedung musik. Arghi masih ada di sana saat ia menghubunginya tadi. Berharap bisa sampai tepat waktu sehingga dia bertemu dengan Arghi. Akan jadi masalah kalau dia tidak ke sana dan diketahui bundanya. Mungkin saja akan kena amuk karena tidak membantu Arghi justru memilih menonton film.

Sampai di gedung musik dia melihat Arghi berdiri di dekat halte. Sudah terlambat rupanya, acaranya sudah selesai. Rio menghentikan motornya di depan remaja tersebut. Membuat beberapa orang menatapnya heran, termasuk Arghi.

"Ayo naik!" ujar Rio membuka kaca helmnya. Arghi melebarkan matanya yang sudah mengantuk melihat Rio lah sang pengendara yang berhenti di depan halte. Dia berdiri dan menerima helm dari Rio lantas menaiki motor tersebut.

"Bentar Yo, aku cancel dulu nih ojolnya," ujar Arghi saat Rio hendak melajukan motornya. Rio mengangguk dan memberikan waktu untuk Arghi mengutak-atik ponselnya. Tidak butuh waktu lama, Arghi sudah mengangguk membuat Rio segera menjalankan motornya.

Jalanan cukup ramai karena ini malam minggu. Banyak sekali yang keluar malam ini. Arghi menikmati jalanan yang ramai tersebut dengan pikiran tenang. Pikirannya kusut beberapa menit lalu memikirkan nasibnya yang pulang tanpa suatu penghargaan. Mungkin karena dia terlalu menyombong atau juga karena memang moodnya sejak awal tidak bagus.

"Kok nggak bilang kalau ada lomba? Kan aku bisa antar tadi," ujar Rio menghentikan motornya karena lampu jalan berubah merah. Arghi yang baru saja menikmati pemandangan kota segera menjawab.

"Ya kan mau jalan sama Alvin, mana tuh Alvin ngamuk-ngamuk chat aku. Nggak penting juga kali, toh nggak menang," jawab Arghi dengan nada getirannya. Dia hanya merasa hampa tanpa sebuah kemenangan. Ransel yang ia bawa dengan sengaja karena berpikir akan menang terasa kosong, hanya berisi tuksedonya. Sementara dia hanya memakai kemeja putih polos dengan bawahan celana kain.

Penampilannya begitu meyakinkan, nyatanya permainnya sangat buruk. Seburuk suasana hatinya karena dia tidak pernah mau mendaftarkan diri di lomba ini. Orang tuanya yang dengan seenaknya mendaftarkannya dan mengancamnya kalau ia tidak hadir ke perlombaan tersebut. Mereka akan sangat kompak saat menyiksanya. Itu yang membuatnya terharu sampai ingin menangis.

"Mau mampir makan malam dulu nggak?" tanya Rio menawarkan. Arghi sudah jelas kelaparan, itu karena siang ini dia tidak makan apapun. Perutnya hanya terisi sarapan pagi ini.

"Iya Yo, ke angkringan aja," jawab Arghi. Rio lantas meminggirkan motornya dan melambatkan laju kendaraannya agar bisa memilah tempat mana yang bisa ia tempati untuk motornya. Hampir lima menit akhirnya bisa bertemu tempat yang lumayan sepi pembeli dan bisa menampung motornya.

Arghi turun dan memilih satu tempat duduk, sedangkan Rio harus memarkirkan motornya dengan rapi karena ini di pinggir jalan, bisa-bisa motornya tersenggol kendaraan yang melintas. Setelah memarkir Rio ikut duduk dan memesan jeruk hangat.

"Kamu belum makan juga, Yo?" tanya Arghi saat melihat Rio membuka nasi kucing dan mencuci tangannya.

"Belum makan sama nasi," jawab Rio membuat Arghi terkekeh. Memang prinsip itu begitu melekat pada orang Indonesia, Arghi juga setuju dengan hal tersebut.

Mereka mulai makan malam, Rio hanya makan satu bungkus sedangkan Arghi makan dua bungkus. Sebenarnya makannya tidak lama, yang lama adalah obrolannya. Bahkan setelah minuman mereka habis keduanya masih enggan beranjak.

QuerenciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang