2. Perbincangan

602 37 0
                                    

"Bego dasar!" ejek Rio tertawa sampai kedua tangannya menyentuh perut six pack-nya karena terasa kaku dan geli bersamaan. Bagaimana bisa ada manusia mati rasa yang sampai lupa melepas helm dalam waktu lama. Juga, kaca helm yang diturunkan apakah tidak mengganggu penglihatan? Mungkin memang manusia paling aneh yang diciptakan Tuhan hanya Arghi seorang.

"Sialan! Kok kamu nggak ngomong sih! Pantes aja dari awal masuk gedung dilihatin. Helm sialan!" umpatnya sembari menahan malu. Ah, ternyata hari pertama tidak seindah yang ia bayangkan. Padahal semalaman dia tidak bisa tidur demi memikirkan hari indah di awal masa putih abu-abu.

Ketiganya lantas masuk ke dalam kelas masing-masing. Tapi rupanya kembali dipertemukan karena nama mereka berada atas kertas yang sama. Tandanya mereka akan satu kelas satu tahun ke depan. Kebetulan yang entah harus disyukuri atau disesalkan oleh Rio. Dia hanya tidak suka satu kelas dengan makhluk seaneh Arghi.

"Yo, kita duduk satu bangku ya!" pinta Arghi pada Rio yang berjalan di depannya. Tapi, saat dia bersiap berbelok untuk duduk di sebelah Rio, kedua tangan kekar Rio menghalanginya. Hal tersebut sontak mengundang kernyitan heran di dahi Arghi.

"Ini buat Alvin. Duduk sini, Vin!" ujar Rio membuat Arghi seperti terkhianati. Sia-sia dia mengikuti Rio kalau ternyata laki-laki itu tidak setuju duduk sebangku dengannya. Rio tertawa melihat wajah masam Arghi saat Alvin mengambil duduk di sebelahnya.

"Terus aku duduk sama siapa, Yo? Jahat amat jadi orang," kesalnya menggerutu. Dengan pasrah duduk di depan bangku Rio. Benar-benar hari sial. Dia meletakkan helm di atas mejanya sedikit dibanting, meluapkan kekesalan atas hari sialnya sendiri.

"Em, boleh duduk di sini?" tanya seorang siswa yang baru saja masuk ke dalam ruang kelas. Dia menggunakan hodie berwarna merah muda bergambar Piglet dari serial kartun Winnie-the-Pooh yang terlihat sangat nyentrik. Rio mengamatinya begitu juga dengan Alvin. Keduanya sama-sama merasa aneh saat melihat seseorang memakai hodie dengan warna secerah itu untuk pergi ke sekolah. Apalagi dia seorang laki-laki. Ya... Memang tidak ada larangan memakai warna merah muda untuk laki-laki, hanya saja siapa laki-laki yang mau memakai warna keramat itu?

"Oh iya, silakan," jawab Arghi mempersilakan dengan senyuman canggung. Dia kemudian segera melirik ke belakang tempat Rio dan Alvin duduk demi melotot pada Rio. Seolah menyalahkannya karena membuat ia harus duduk bersama orang asing. Rio cuek dan tidak merespon pelototan tersebut.

Dia lebih tertarik mengobrol dengan Alvin di sebelahnya. Daripada harus mengurusi orang gila yang datang ke kelas dengan helm di kepalanya. Benar-benar orang aneh.

"Dulu kamu pindah ke mana?" tanya Rio mulai sesi percakapannya dengan Alvin. Alvin mengalihkan pandangannya pada Rio di sebelahnya.

"Ke Jakarta, baru pulang minggu ini," jawabnya tenang. Rio manggut-manggut. Alvin memang orang yang jarang berbicara tapi saat berbicara pembawaannya begitu tenang dan santai. Tidak berubah sedari kecil membuat Rio tersenyum mengingat masa kecilnya dulu.

"Masih suka main game?" tanya Rio mengingat masa lalunya. Dulu, Alvin sering mengajaknya main ke rumahnya untuk bermain game di kamar. Itu game ps. Rio tentu tidak menolak dia juga suka main game, tapi tidak se-maniak Alvin.

"Masih, nanti sepulang sekolah ayo ke rumah. Ps-ku udah diupgrade," jawab Alvin sekaligus mengajak Rio main ke rumahnya. Rio menanggapinya dengan tertawa. Benar-benar tidak berubah. Alvin tersenyum melihat sahabatnya tertawa, "kamu tinggi banget ya," puji Alvin melihat tubuh kekar sahabatnya.

Padahal dulu saat mereka sama-sama masih beringus Alvin lebih tinggi dari Rio. Ditambah wajah Rio yang tampak polos seperti balita membuatnya seperti adik bagi Alvin. Sekarang malah kebalikannya. Wajah Rio tampak dewasa dengan tubuh yang kekar. Sudah seperti laki-laki dewasa saja. Sedangkan Alvin malah menjadi dua senti di bawah Rio dan tubuhnya kurus. Sudah seperti pengguna obat-obatan terlarang saja.

"Iya, minum susu yang banyak sama olahraga rutin. Nggak kayak kamu, main game terus sampe lupa makan," ujar Rio dengan sengaja menggoda. Alvin tertawa mendapat sebuah serangan mendadak seperti itu.

"Alvin suka main game?"

Tiba-tiba Arghi menimpali. Dia berbalik terlihat sangat ingin terlibat dalam percakapan Rio dan Alvin. Hal itu membuat Rio memutar bola matanya kesal. Tidak bisakah Arghi urus-urusannya sendiri? Dia bisa mengobrol dengan teman sebangkunya,ntidak perlu ikut mengobrol dengannya.

"Iya," jawab Alvin singkat dan seadanya.

Arghi manggut-manggut mengerti. Selanjutnya diam karena bingung harus mencari topik apa lagi. Dia melirik teman sebangkunya yang duduk diam tampak tidak tertarik sama sekali untuk ikut mengobrol dengannya. Lantas melirik Rio memintanya untuk mengobrol lagi. Tapi, Rio enggan. Karena obrolannya dengan Alvin sudah diganggu oleh Arghi dan ia tidak suka.

"Kamu juga suka game?" tanya Alvin akhirnya. Dia cukup bingung dengan kecanggungan yang merayapi ketiganya.

"Iya, kamu main apa biasanya?" tanya Arghi bersemangat. Dia sampai mendekatkan kursinya ke arah Alvin agar bisa mengobrol lebih dekat lagi. Sementara Rio mendengus melihatnya.

"Aku biasanya main di ps tapi di hp juga main," jawab Alvin. Dia suka berbicara tentang game. Kalau dengan Rio dia tidak terlalu banyak membicarakan game, itu karena Rio sendiri tampak biasa saja dengan game. Sedangkan dia terlalu memuja game sampai mengoleksi banyak video game.

"Oh gitu, kalau aku cuma main di hp. Kapan-kapan kita bisa main game bareng," ujar Arghi dengan hati bergembira, Alvin mengangguk menyetujui ide tersebut.

"Eh, kamu temen sekolah Rio ya?" tanya Alvin penasaran.

"Bukan, tetangga dia. Rumahku tepat di sebelah rumah dia. Tapi nggak tahu kenapa baru kenal kemarin, hehehe ..." jawab Arghi. Dia masih heran bagaimana bisa dua orang yang hidup berdampingan tidak mengenal dan hanya akan tersenyum ramah satu sama lain tanpa berniat berkenalan. Sungguh aneh.

"Ohalah. Terus depan rumahmu sekarang ditinggali siapa, Yo?" tanya Alvin penasaran. Pasalnya dulu dia dan keluarganya tinggal di depan rumah Rio. Karena pekerjaan bapaknya dia dan keluarganya pindah ke Jakarta dan menjual rumah tersebut. Sebenarnya sangat disayangkan, hingga sekarang Alvin merasa menyesal harus pindah rumah.

"Dikontrakin. Sekarang masih kosong sih kayaknya," jawab Rio setahunya. Alvin manggut-manggut.

"Oh dulu Alvin tinggal di depan rumah kamu, Yo?" tanya Arghi heboh. Yang ditanya mengangguk saja enggan memperpanjang obrolan.

Pembicaraan mereka terhenti saat seorang kakak kelas dengan pakaian berjas rapi memasuki ruang kelas. Tampaknya merekalah yang akan menjadi panitia PLS atau singkatan dari pengenalan lingkungan sekolah. Baiklah masa putih abu-abu dimulai dari detik ini.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
QuerenciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang