54. Rumah Jofan

240 23 0
                                    

Alvin bertahan dengan posisinya karena masih saja keras kepala dan tidak menyetujui permintaan Rio untuk memanggilnya secara normal. Dia lebih memilih terus membungkuk dan mengorbankan lehernya untuk tetap dipiting Rio. Melihat itu teman sekelasnya hanya bisa geleng-geleng kepala menanggapi tingkah absurd kedua remaja yang tampak seperti saudara kembar itu.

"Yo kasihan tuh Nana-nya, lagian namanya bagus kok. Bener nggak Jo?" ujar Arghi meminta tanggapan Jofan saat masih saja melihat Alvin di bawah kungkungan Rio. Rio seperti tidak mendengar suara sumbang Arghi dan lebih memilih memainkan ponselnya dengan tangan kanan sementara tangan kirinya tetap setia mengait leher Alvin.

"Eh, iya. Namanya bagus kok Yo. Kita juga udah nggak manggil kamu gitu lagi," sahut Jofan dengan kikuk mencoba membela Arghi. Dia merasa kasihan kepada Alvin meskipun remaja itu terlihat tidak peduli. Entah karena nyaman atau memang dasarnya kepala batu.

"Gimana?" tanya Rio dan menggoyangkan tangan kirinya pertanya dia tengah bertanya pada Alvin. Alvin yang merasa kepalanya diguncang segera mendongak, menggeleng dengan keras sampai hampir membenturkan kepalanya ke kolong meja kalau tidak segera Rio tarik.

"Sakit," desis Alvin saat lehernya ditarik secara kasar oleh Rio. Padahal niat Rio sudah baik, Alvin saja yang terus berprasangka buruk kepadanya. Benar-benar bocah tidak tahu diuntung.

"Ah bodo amat lah!" keluh Rio dan akhirnya melepaskan Alvin. Membiarkan teman sebangkunya itu bisa kembali duduk tegap dan meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Rio duduk santai dan bisa memainkan ponselnya dengan leluasa. Dia menjelajahi dunia berita olahraga dengan perasaan senang meskipun sudut hatinya masih merasa dongkol.

"Marah nih?" tanya Alvin menelengkan kepalanya demi menatap Rio. Rio tidak merespon dan juga enggan menatapnya. Hal itu cukup membuat Alvin terkikik geli. Kekanakan.

"Eh nanti sepulang sekolah ke angkringan lagi yo! Atau ke rumah Jojo makan jambu," usul Arghi bersemangat. Dia mencoba membuat kedua temannya itu tidak berdebat kembali. Akan sangat tidak nyaman saat melihat Rio tengah bersiteru dengan Alvin.

"Aku sih ok-ok aja," jawab Alvin dan melirik kepada Rio. Rio tampak tidak peduli membuat Alvin mencibirnya, "gimana Biboy, setuju nggak?" tanya Alvin masih dengan panggilan yang sama. Arghi dan Jofan meringis mendengar itu, tidak ada kapoknya. Rio bergeming di tempatnya. Benar-benar merajuk atas panggilan Alvin untuknya.

"Gimana Yo setuju nggak?" tanya Jofan mencoba meralat panggilan dari Alvin. Rio melirik sebentar pada Jofan lantas menggeleng singkat.

"Ck, iya iya... manggilnya Rio. Tapi, cuma di sekolah. Kalau di luar sekolah tetep Biboy," bujuk Alvin dan tetap saja tidak berhasil membuat Rio luluh. Tentu saja karena ucapan terakhir Alvin. Alvin berdecak kesal karena sahabatnya ini begitu pemarah. Sepertinya ini aadalah hari menstruasi untuk seorang Rio. Tempramennya sungguh tidak baik.

Alvin menemukan ide agar Rio berhenti mendiamkannya. Dengan perlahan dia menarik tangan kiri Rio dan kembali mengalungkannya di lehernya. Tubuhnya merunduk seperti saat dipiting Rio. Lantas mendongak menatap Rio.

"Ini," ucap Alvin membuat Rio menunduk mengalihkan pandangannya dari ponsel kepada Alvin di bawah kolong meja. Padahal tangan Rio tidak mencekalnya tetapi, Alvin berpura-pura dicekal seperti beberapa menit lalu. Arghi dan Jofan menonton tingkah absurd Alvin dalam diam. Menunggu respon dari Rio. Mereka sudah nemebak apa yang akan terjadi berikutnya.

"Udah bangun!" ucap Rio melihat Alvin tetap di bawah mendongak menatapnya. Rasanya memang menyebalkan tetapi, Rio merasa kasihan melihat Alvin. Arghi dan Jofan saling tatap seolah membenarkan tebakan di kepala mereka. Mereka bahkan menahan gelak tawa berdua. Memang Alvin itu pawangnya seorang Rio.

QuerenciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang