104. Perkelahian

296 38 0
                                    

Seminggu setelahnya, Rio kembali jarang berkunjung. Dia tahu Arghi dan Jofan sering mengunjungi Alvin, itu sebabnya dia memilih diam di rumah dan mencari tahu kampus terbaik untuk ia masuki. Tidak ada hal lain yang ia tuju selain jurusan olahraga.

Namun, satu hal lain yang membuatnya mempertimbangkan banyak hal adalah... kampus mana yang akan dimasuki oleh dua sahabatnya. Dia penasaran kemana Arghi dan Jofan akan melanjutkan pendidikan. Maka, kemarin dia menanyakan hal ini pada Anton yang satu kelas dengan Arghi serta Jofan.

["Mereka masuk di UNY."]

Begitu mendapat pesan tersebut, Rio putuskan untuk masuk ke kampus yang sama dengan mereka. Rio menyiapkan berkas-berkas yang akan dikirim untuk pendaftaran jalur beasiswa. Setelah menyiapkan semuanya dia memilih kembali bermain ponsel.

Merebahkan diri di kasur dan melihat-lihat model topi. Dia ingin membeli topi untuk Alvin. Memang topinya sudah ia berikan satu, hanya saja minggu lalu dia berjanji akan membelikan topi untuk Alvin. Jadi, dia melihat-lihat model topi dan menemukan topi putih.

Rio jarang membeli topi putih polos, lebih suka dengan warna gelap. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya dia membeli topi tersebut. Tidak lama, sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak ia kenal. Rio membukanya karena penasaran.

["Nana sendirian di rumah sakit."]

Begitu isi pesan masuk di ponselnya. Rio menebak itu adalah Jofan, tidak mungkin Arghi. Lantas dia mengirim balasan menanyakan siapa dia. Hanya ingin mengecek kebenarannya.

["Jojo."]

Rio tidak membalas pesan jawaban tersebut. Dia beranjak ke kamar mandi untuk berganti baju. Kemudian bersiap pergi ke rumah sakit. Kasihan kalau Alvin sendirian di rumah sakit. Apalagi dia tidak bisa main game di ponsel karena larangan dari dokter. Pasti sangat membosankan.

"Mau ke rumah sakit?" tanya Devina yang baru saja sarapan. Rio mengangguk saja dan melangkah keluar rumah.

Dia melajukan motornya membelah jalanan ibu kota sampai kemudian dia mampir ke toko buah. Kalau tidak membawa apa-apa rasanya aneh, tiba-tiba datang dan duduk di sana. Setelah membeli buah anggur Rio melanjutkan perjalanan.

Sesampainya di depan kamar inap Alvin, Rio melongok sebentar melihat Arghi tengah duduk di dalam. Sial, Jofan menipunya. Tanpa pikir panjang, Rio berbalik memilih pergi dan tidak jadi menjenguk Alvin.

"Yo," panggilan itu membuat Rio menghentikan langkahnya. Dia enggan berbalik, bahkan saat Jofan berdiri di depannya dia enggan menatap balik pada Jofan. Jofan melihat Rio membawa buah anggur, kesukaan Alvin. Dia mengulas senyum, "ayo masuk! Alvin udah nungguin dari tadi," ajak Jofan.

"Apa maksudnya? Kamu nipu aku buat apa, ha?" tanya Rio marah. Dia bahkan meninggikan nada bicaranya, terlanjur merasa kecewa dengan Jofan.

"Nana yang minta, aku nggak bisa nolak permintaan dia. Bahkan itu bukan hal yang hina kan? Kamu cuma duduk di dalam," ucap Jofan. Dia mencoba membujuk Rio agar mau duduk bersama Arghi di dalam. Sementara di dalam sana Arghi sudah berusaha keluar namun, ditahan Alvin.

Arghi tidak tahu kalau Jofan berani menipunya seperti ini. Mengajaknya menjenguk Alvin lantas mengabari Rio agar datang menjenguk. Seperti menyatukan minyak dan air. Jelas tidak akan bisa bersama.

"Ayolah Yo, cuma sebentar. Kasihan Nana, dia udah nunggu sejak tadi," bujuk Jofan. Menghalangi langkah Rio yang hendak pergi.

Namun, tak lama Arghi keluar dengan wajah marah. Jofan mendelik, artinya rencananya dengan Alvin gagal. Dia menarik lengan Arghi agar tidak berjalan pergi. Bahkan menarik lengan Rio juga.

"Terserah kamu, Jo. Aku nggak akan percaya sama kamu lagi," ucap Arghi menghentakan tangannya. Jofan mengejar Arghi, membuat Rio dilepas begitu saja. Rio berjalan pergi tanpa menunggu waktu lama.

"Kalian egois! Bahkan Nana cuma pingin lihat kita kumpul sebentar. Dia di dalam sendirian!" seru Jofan kesal melihat dua orang itu enggan menurut dan duduk di dalam.

"Kamu yang bodoh! Si berengsek itu udah lukain kamu buat apa bujuk-bujuk dia? Harga diri kamu dimana ha?" Arghi berseru menunjuk Jofan seolah gemas melihat Jofan bersikeras ingin bersama Rio. Padahal Rio melukainya berkali-kali, tidak pantas dirayu-rayu seperti itu.

"Apa? Berengsek? Nggak punya kaca di rumah? Kamu yang pengecut! Nggak pernah mau ngaku salah dan milih nyalahin orang lain atas apa yang kamu perbuat. Pengecut kayak kamu nggak pernah pantas dapat kehidupan yang baik. Ah, benar. Orang tua kamu kan nggak pernah ngajarin gimana ngakuin kesalahan sendiri," ucap Rio tidak terima disebut berengsek oleh orang yang lebih berengsek darinya.

"Sialan!" umpat Arghi bergerak mendorong Rio. Rio menghantam dinding rumah sakit di lorong. Jofan mencoba memisahkan keduanya.

"Ini di rumah sakit, jangan berisik! Udah An!" seru Jofan menarik Arghi. Namun, tubuh kecilnya jelas tidak merubah apa-apa. Arghi terlanjur melesatkan bogem kepada Rio yang diam saja. Rio harusnya bisa menghindar tetapi, dia memilih diam.

"Makan tuh pengecut!" maki Arghi melepas cekalannya pada kaus Rio. Rio diam menatap Arghi yang bernapas tak beraturan. Dia bahkan tidak mengeluh kesakitan saat tulang pipinya terasa ngilu kena pukul.

"Emang dasarnya pengecut, banyak bacot," ucap Rio mendorong Arghi agar menjauh darinya. Dia berjalan pergi ke kamar Alvin. Melihat dari celah pintu, remaja itu menatap semuanya.

"Nih! Dari bunda," ucap Rio memberikan buah anggur bawaannya. Dia berbalik hendak keluar namun, Alvin diam saja tidak seperti biasanya yang akan langsung mencekalnya.

Jofan masuk mendorong Arghi yang terus berusaha lari. Bahkan Arghi sudah memaki-maki Jofan dengan kalimat kotornya. Jofan tidak membalasnya, dia hanya terus mendorong Arghi agar masuk ke kamar inap Alvin. Rio juga tidak bisa keluar karena keduanya yang berdebat di pintu.

"Lepas!" seru Arghi mendorong Jofan sampai remaja itu terpental dan jatuh terjengkang ke lorong. Rio terkejut melihat itu, dia berjalan cepat mendorong Arghi yang masih saja berdiri di ambang pintu. Membantu Jofan berdiri. Remaja pendek itu meringis merasa pantatnya sakit karena terbentur lantai.

"Pergi!" usir Rio menatap tajam pada Arghi. Amarahnya meletup-letup seketika. Bukankah Jofan terlalu baik untuk dua orang berengsek ini? Rio bahkan selalu menghindari Jofan agar tidak semakin melukainya namun, di depan matanya Jofan dilukai secara fisik oleh Arghi. Manusia tidak tahu malu.

"Apa? Kamu ngusir siapa? Kamu yang harusnya pergi dari sini!" tegas Arghi tidak mau diusir oleh Rio.

"Kamu mau pergi kan tadi? Ya udah silakan pergi, nggak akan ada yang maksa kamu di sini!" ucap Rio membuat Jofan menatapnya tidak setuju.

"Kamu pikir siapa bisa usir aku? Bahkan aku lebih dulu ada di sini!" tukas Arghi.

Alvin diam melihat perkelahian ketiga sahabatnya. Matanya tidak berbohong. Dia kecewa, sangat amat kecewa melihat keduanya benar-benar tak tertolong.

"Kalian pergi aja, aku nggak butuh kalian kalau terus bertengkar gitu. Makasih udah mau datang," ucap Alvin akhirnya membuka mulut. Jofan menatap Alvin khawatir, merasa bersalah karena tidak bisa membuat kedua sahabatnya akur. Rio dan Arghi tak kalah merasa bersalah.

"Apa susahnya duduk? Toh aku nggak minta kalian ngobrol bareng."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
QuerenciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang