Setelah hari itu, Rio jarang ke rumah sakit. Dia sibuk memikirkan kemana ia akan melanjutkan sekolah. Meski sesekali dia berpikir untuk berhenti sekolah karena sungguh minatnya pada pendidikan lenyap. Sudah hampir seminggu dia tidak berkunjung ke rumah sakit. Malam ini dia akan pergi ke sana, sekedar melihat keadaan Alvin juga membiarkan nenek Anti makan malam.
"Mau kemana?" tanya Ari melihat Rio keluar kamar. Dia menggunakan hodie putih dan bertopi. Sudah jelas akan pergi keluar.
"Ke rumah sakit," jawab Rio. Ari mengangguk. Lantas Ica keluar mendengar putranya akan ke rumah sakit. Dia merasa senang mendengar itu.
"Sebentar!" ucap Ica membuat Rio menghentikan langkahnya. Melihat bundanya masuk ke dalam dapur dan terburu-buru memasukkan buah dari kulkas ke dalam kantong kresek. Dia berjalan ke arah Rio, "ini buat Alvin. Titip salam buat dia. Kalau bisa kamu tidur aja di sana kasihan nenek Anti tidur di rumah sakit terus," ucap Ica. Rio mengangguk saja. Lantas berpamitan pergi sebelum hari makin malam.
Dia mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Sesekali dia menaikkan laju kendaraan saat jalanan sepi. Dalam hati dia berharap tidak ada Arghi atau Jofan. Enggan bersinggungan dengan keduanya. Selain karena dia memiliki dendam kepada Arghi, dia juga merasa bersalah pada Jofan. Jadi, dia memilih lari dari keduanya.
"Nak Rio," sambut nenek Anti yang baru saja keluar ruang inap cucunya. Rio tersenyum menyalami wanita tersebut.
"Ini dari bunda," ucap Rio menyerahkan plastik berisi buah anggur kesukaan Alvin. Nenek Anti tersenyum dan menerimanya. Lantas mengajak Rio masuk ke ruang inap Alvin. Rio melongok sebentar melihat Alvin sedang duduk menonton televisi.
"Rio!" sapanya dengan senang.
"Hm..." sahut Rio begitu singkat.
"Kebetulan, nenek mau makan sebentar. Titip Alvin ya nak Rio," ucap Anti merasa senang karena tidak perlu makan terburu-buru. Rio mengangguk namun mengikuti wanita itu keluar.
"Nek, kalau mau Rio bisa jaga Alvin dua hari ini. Jadi, nenek bisa pulang kalau mau," ucap Rio mengutarakan niatnya. Nenek Anti tersenyum mendengar itu. Dia tidak bisa menolak, itu karena Alvin akan sangat senang memiliki teman yang menemaninya setiap hari.
"Nak Rio nggak keberatan?" tanya Anti memastikan.
"Enggak, belum ada kesibukan apa-apa juga," jawab Rio. Lantas wanita tersebut menyetujuinya. Alvin yang duduk di ranjangnya penasaran dengan apa yang mereka bicarakan.
"Alvin, kalau nenek pulang nggak apa-apa kan?" tanya Anti mengelus kepala cucunya.
"Aku nginep di sini," jelas Rio saat melihat wajah tidak setuju dari Alvin.
"Seriusan?" tanya Alvin tidak percaya. Wajahnya senang bukan main mendengar Rio akan menginap di rumah sakit menemaninya.
Setelah itu, Rio membantu nenek Anti bersiap pulang ke rumah. Beberapa pakaian kotor dibawa oleh wanita tersebut untuk dicuci di rumah. Alvin hanya duduk dengan senyuman lebar. Meskipun dia khawatir dengan kondisi neneknya kalau tinggal sendiri di rumah tetapi, dia juga tidak senang melihat neneknya tidur di sofa setiap malam.
Tidak ada keluarga yang bisa membantunya. Seharusnya dia yang merawat sang nenek, bukan malah sebaliknya. Mengingat itu, dadanya seketika bergemuruh. Dia tidak bisa melakukan apa-apa selain menitikan air matanya. Menangis sesenggukan meratapi nasibnya yang begitu menyedihkan.
Rio melihatnya. Melihat Alvin tertunduk menangis di ranjangnya. Remaja seusianya itu membekap mulutnya sendiri berharap tidak ada yang mengetahui tangisnya. Rio diam tidak mengintrupsi, lebih memilih membantu nenek Anti berkemas.
"Kamu jangan ngerepotin Rio ya, baik-baik jangan banyak membangkang," pesan nenek Anti pada Alvin. Alvin tersenyum dan mengangguk, wajahnya merah, matanya berair, tetapi tidak bisa mengeluarkan isakannya.
Rio mengantar nenek Anti keluar rumah sakit. Memesan ojek agar bisa membawa sang nenek sampai ke rumah dengan selamat. Lantas ia mengirim pesan pada ayahnya bahwa dia akan menginap di rumah sakit sedangkan nenek Anti pulang ke rumah.
Dia kembali masuk ke kamar, melihat Alvin selesai meminum air mineral. Rio membuka plastik bawaannya, lantas menaruh beberapa anggur dalam mangkuk. Dia berjalan ke wastafel untuk mencuci buah tersebut. Setelahnya menyodorkannya pada Alvin.
"Kupasin," pinta Alvin dengan manja. Rio tak membantah, dia memilih diam dan mengupas buah anggur tersebut. Memisahkan daging buah dengan biji. Memberikannya pada Alvin dan mengupas anggur lain sampai satu mangkuk habis dimakan Alvin.
"Operasinya gimana?" tanya Rio. Dia tahu hasilnya, bahkan dia duduk di ruang tunggu operasi saat itu bersama nenek Anti. Dia hanya ingin tahu bagaimana perasaan Alvin.
"Lancar, tapi bekasnya masih sakit," keluh Alvin dan hanya diangguki Rio. Rio meletakkan mangkuk kosong tersebut di atas nakas, lantas bersandar di kursinya.
Tangannya bergerak melepas topi hitamnya dan menaruhnya di lutut, memainkannya. Alvin menatap topi yang tengah dimainkan oleh Rio. Rio terlihat sering memakai topi. Sepertinya sudah menjadi penggemar berat topi pet.
"Kemarin aku kira topinya buat aku, tapi malah diambil balik," decak Alvin membuat Rio mendongak menatapnya. Rio ingat saat itu dia mengambil topinya dan membawa topinya kembali ke rumah. Rupanya Alvin berpikir dia memberikannya.
"Topi bekas, besok aku beliin yang baru," ucap Rio beralibi. Itu topi baru, sama seperti yang ia pakai sekarang. Dia sering membeli topi akhir-akhir ini. Entah karena apa, yang pasti Rio hanya nyaman menggunakan topi.
"Bohong, paling setelah ini ngilang lagi sebulan bahkan setahun ngilang seenaknya, kayak nggak ada rasa kangen sama sekali," cemberut Alvin dan membaringkan tubuhnya.
Punggung Alvin masih belum kuat duduk terlalu lama. Jadi dia sepanjang hari terus berbaring. Hanya saat makan dan buang air. Dia bisa melangkah meskipun harus dituntun. Masalahnya dia tidak mungkin bertumpu pada neneknya, jadi dia jarang ke kamar mandi bahkan saat dia ingin sekalipun. Dia hanya akan menunggu saat Arghi maupun Jofan datang berkunjung.
Rio menurunkan kepala ranjang agar Alvin bisa tidur dengan nyaman. Tetapi, remaja itu tak kunjung menutup matanya. Malah menatap langit-langit kamar inapnya. Rio diam-diam mengamati, sembari memainkan topinya.
"Rio lanjut kuliah dimana?" tanya Alvin dalam kesunyian yang panjang.
"Nggak tahu," jawab Rio. Alvin berdecak mendengar jawaban singkat itu. Tidak bisakah Rio menjawab dengan panjang? Obrolan akan terus berhenti kalau Rio menjawabnya sesingkat itu. Alvin pusing mencari topik obrolan. Tidak mungkin ia menceritakan kejadian dia terpeleset di kamar mandi saat diantar Arghi. Atau saat Jofan dengan ceroboh menawarkan kopi kepadanya.
"Kenapa emang?" tanya Rio membuat Alvin mengulas senyum. Apakah Rio bisa mendengar pikirannya? Itu hal yang luar biasa kalau benar-benar terjadi.
"Cuma pingin tahu. Kamu bilang mau jadi pebasket nasional, kenapa nggak langsung ambil sekolah basket?" tanya Alvin mulai bersemangat mengobrol.
"Kata siapa? Cepet tidur udah malam!"
Alvin berdecak. Dia ingin mengobrol lebih lama, Rio sungguh tidak peka. Wajar kalau Sila tidak suka pada laki-laki tampan di sebelahnya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Querencia
Teen FictionBertemu dengan tiga orang sahabat adalah sebuah anugerah. Saat luka-luka yang aku lihat dari diri mereka perlahan mulai sembuh, membuat hatiku menghangat. Aku berguna bagi mereka dan mereka istimewa untukku. Melewati masa remaja bersama dengan berb...